Page 137 - e-modul bh.Indonesia SMPMuh.Rappang9
P. 137

MODUL 2

               aku berusaha menyembunyikan diri. Ingin memastikan apa yang sedang dilakukan
               orang  itu.  Aku  mendengar  ia  menangis,  sambil  menyebut  nama  Mas  Ganang
               berulang-ulang.
                   “Nang,  ampuni  dan  maafkanlah  aku.  Ini  memang  dosaku.  Aku  semakin  tidak
               kuat menahan  rasa bersalah ini. Kabar burung itu,  Nang... kabar burung itu kian
               menyiksaku.  Kenapa  harus  dikabarkan  sebagai  tumbal  kamboja.  Aku  harus
               mengakhiri kabar ini, Nang. Mbah Suro... Mbah Suro....” Sejenak ia menghentikan
               kalimatnya.  Suara  isaknya  benar-benar  menyayat  hatiku.  Penasaranku  kian
               membias.  Belum  sampai  tuntas.  Tiba-tiba  dengan  nada  emosi  orang  itu
               mengepalkan  tangannya  di  atas  nisan  kakakku.  “Aku  akan  membuka  tabir  ini,
               Nang. Dan semoga itu bisa membuatmu tenang di alam sana!”
                   Aku mulai menghitung momen yang tepat. Aku keluar dari persembunyianku.
               Tak  kuduga,  ternyata  bapak,  ibu  dan  Dewi  sudah  berada  di  belakang  orang  itu.
               Bapak langsung memeluk anak itu. Bapak dan ibu seperti terlihat akrab. Saat itu
               juga anak itu bersimpuh di kaki kedua orang tuaku. Menceritakan tabir dan tumbal
               misteri itu.
                   “Bapak,  Ibu,  maafkan  saya.  Kematian  Ganang  bukan  karena  tumbal  kamboja.
               Tetapi,  karena  kambuh  penyakit  jantungnya.”  Tangis  deru  yang  menggetarkan
               tubuhnya itu telah menghentikan rangkaian kalimatnya. Dengan sabar bapak terus
               menenangkannya sambil mendesak agar anak itu kembali bercerita soal kematian
               Mas Ganang yang sebenarnya.
                   “Sore  itu  kami  asyik  bermain  bola.  Menjelang  Magrib  permainan  belum
               berhenti.  Tiba-tiba  Ganang  terjatuh,  tersungkur  di  tanah.  Ia  mengerang  hebat
               sambil memegangi jantungnya,” ungkap pemuda itu.
                   “Lalu  kenapa  waktu  itu  tidak  kau  katakan  yang  sebenarnya?  Mengapa  kamu
               malah mengatakan bahwa dia kesurupan?” desak bapak dengan nada kesal.
                   “Maafkan  saya,  Pak.  Maafkan  saya.  Sebab,  waktu  itu  kami  bingung  dan  Mbah
               Suro  bilang  Ganang  mengalami  kesurupan.  Padahal  waktu  itu  dia  sempat
               membisikkan jantungnya terasa nyeri. Entah kenapa tiba-tiba kami percaya begitu
               saja dengan keterangan Mbah Suro.”
                   “Ya  sudahlah.  Sekarang  semua  sudah  jelas.  Itu  juga  kesalahan  kami.  Andai
               kami tahu, jika almarhum waktu itu keluar sore mau bermain bola, pasti kami akan
               mencegahnya.  Tapi  bagaimana  lagi  nasi  sudah  menjadi  bubur,”  sesal  bapak
               sembari menenangkan anak itu, yang mulai ketakutan.
                   Mas  Ganang  meninggal  dunia  sebab  jantungnya  kambuh  kala  bermain  bola
               sore  hari  di  lapangan  ini.  Bukan  karena  gugurnya  sehelai  daun  seperti  yang
               dikabarkan  Mbah  Suro.  Jantungku  terasa  berdetak  kencang.  Amarahku  terasa
               memuncak. Bak disambar ratusan kilat. Mbah Suro?! Tega sekali dia! Membuang
               lima  tahun  keluarga  kami  penuh  dengan  luka  dengan  derita.Kami  pun  segera
               memutuskan untuk pulang.



                   Saat  melewati  pohon  kamboja,  aku  melihat  Mbah  Suro  bersama  para  warga
               membawa  sesaji  lengkap.  Kuberanikan  diri  menunjukkan  fakta  sebenarnya.
               Kucabutidaun-daun  kamboja  itu.  Kulemparkan  daunnya  ke  langit,  membiarkan



                                                           127
   132   133   134   135   136   137   138   139   140   141   142