Page 131 - Toponim Magelang
P. 131

Toponim Kota Magelang    119











                     menginspirasi untuk menyebut daerah itu dengan nama  “ngentak” tanpa perlu
                     perulangan kata agar lebih praktis.

                     Di Magelang, tanah pertanian terbagi menjadi sawah dan tanah kering. Luas sawah
                     menurun sebesar 0,2%, dari pengukuran lama 6.562 bahu dan pengukuran baru 6.550
                     bahu periode 1909. Hal ini berbeda dengan tahun 1919, sawah meningkat 1%, dari
                     data lama seluas 6.745 bahu dan data baru 6.817. Lain halnya untuk tanah kering. Era
                     1909, luas tanah kering meningkat sebesar 35,7% dari data lama seluas 3.581 bahu dan
                     data baru seluas 4.861 bahu.167 Pada tahun 1919 justru luas tanah kering berkurang
                     luas 4%, dari data lama seluas 4.489 bahu dan data baru 4.331 bahu. 82


                     Pada tahun 1920, Kota Magelang mempunyai luas 162.804 bahu. Luas tanah pertanian
                     rakyat tahun 1920, luasnya 133.345 bahu, maka terdapat 81,91% dari luas daerah.
                     Luas sawahnya 58,677 bahu dengan 44% dari luas daerah pertanian. Tanah keringnya
                     74.668 bahu dengan 56% luas tanah pertanian. Rata-rata luas tanah pertanian untuk
                     setiap penduduk per bahu adalah 0,23 dengan 0,10 sawah dan 0,13 lahan kering.

                     Dari paparan di atas, terbukti wilayah Magelang memang tak seluruhnya subur dan
                     bisa ditanami  tetumbuhan untuk keperluan konsumsi maupun  sekadar  peneduh
                     alam. Kampung Ngentak merupakan fakta pengecualian dari kenyataan Magelang
                     yang sohor sebagai kawasan hijau nan sejuk sejak era Mataram kuno. Demikian pula
                     warga setempat di masa silam tidak selalu dapat mengolah lahan gersang itu dengan
                     maksimal. Dari pendekatan ilmiah, S. Minardi (2016) dalam pidato pengukuhan ilmu
                     tanah menegaskan bahwa umumnya lahan kering punya tingkat kesuburan tanah yang
                     rendah, terutama pada tanah yang tererosi, sehingga lapisan olah tanah menjadi tipis
                     dan kadar bahan organik rendah. Kondisi ini kian diperburuk dengan terbatasnya
                     pemakaian pupuk organik, terutama pada tanaman pangan semusim.
                                                                                83

                     Erosi ialah salah satu penyebab menurunnya produktivitas lahan  kering, terutama
                     yang dimanfaatkan untuk usaha  tani tanaman  semusim seperti tanaman  pangan.
                     Pertanian lahan kering tidak memerlukan banyak air, seperti halnya budi daya padi
                     sawah, sementara ketersediaan lahan kering masih luas. Secara umum sistem pertanian

                     82  Arsip Kolonial Verslag tahun 1909.

                     83  S. Minardi, 2016. “Optimalisasi Pengelolaan Lahan Kering untuk Pengembangan Pertanian Tanaman
                     Pangan”, dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Tanah (Pengelolaan Tanah) pada
                     Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret Surakarta. 6 April 2016.
   126   127   128   129   130   131   132   133   134   135   136