Page 62 - D:\Kantor ku\5. Stunting\Stunti
P. 62
al., 2017). Menurut hasil penelitian, potensi kerugian ekonomi
secara nasional akibat produktivitas yang rendah pada balita
stunting berkisar Rp 3.057 miliar–Rp 13.758 miliar atau 0,04%
- 0,16% dari total produk domestik bruto (PDB) Indonesia
(Renyoet, Martianto, Sukandar, 2016). Bahkan menurut
Unicef, 2015 besarnya kerugian di Indonesia mencapai Rp
300 T per tahun, sepadan dengan 3% GDP (Unicef, 2015). Di
Ethiopia lebih parah lagi, kerugian ekonomi karena stunting
mencapai 16% GDP.
Lalu bagaimana upaya memutuskan kemiskinan
intergenerasi karena stunting? Menurut Subramanyam et al.,
2011 pembangunan ekonomi makro merupakan satu-satunya
cara yang efektif untuk mengentaskan masalah malnutrisi
khususnya untuk negara-negara miskin dan menengah.
Keberhasilan pembangunan ekonomi makro akan berdampak
pada perbaikan ekonomi di tingkat mikro/rumah tangga
(Sumarto et al., 201; Subramanyam, et al., 2011; Smith &
Haddad, 2002). Apabila daya beli masyarakat meningkat,
maka status gizi dan kesehatan masyarakat akan meningkat
(Ravallion, 1990; Swift 2011), kesejahteraan penduduk dan
usia harapan hidup juga panjang (Hagey, 2012).
Beberapa hasil penelitian menyatakan hubungan antara
pembangunan ekonomi makro dengan status gizi dan derajat
kesehatan masyarakat, diantaranya adalah penelitian Ndiaye
dan Ayad, 2005 di India; Monteiro et al., 2010 di Brazil, Hagey,
2012 di Sinegal; dan Achadi, Sumarto & Hidayat, 2014 di
Indonesia serta Kien et al., 2016 di Vietnam, Vollmer et al.,
2011 di 36 negara miskin di dunia. Di Brazil, perbaikan sosial
ekonomi dan pendapatan perkapita penduduk dapat
menurunkan prevalensi stunting pada balita dari 37,1% pada
tahun 1994 menjadi 7,1% pada tahun 2007 (Monteiro et al.,
2011). Hubungan antara ekonomi, kemiskinan dan stunting
seperti pada Gambar 32.
Tri Siswati, SKM, M.Kes. 57