Page 113 - Berbeda tapi Satu Jua – Kumpulan Cerpen Karya Murid SD di Kabupaten Kolaka
P. 113

MENJADI ANAK YANG SOPAN


                                                   Oleh : Intan Febriana


                   Aku akan bercerita tentang sepupuku, kami seumuran dan sama-sama duduk di kelas
               5. Ia bernama Lala. Saat liburan, Ayah mengajakku mengunjungi rumah Lala. Setibanya
               kami di sana, ada hal yang sungguh membuatku tak enak hati, yakni ketika melihat sikap
               Lala terhadap ibunya.
                   Ibunya Lala hendak menjamu kami dengan memasakkkan sesuatu, sebagai bentuk
               sambutannya pada saudara jauh yang datang berkunjung. Saat memasak di dapur,
               kudengar ibunya meminta tolong pada Lala untuk membeli bumbu ke warung. Namun
               entah karena alasan apa, Lala menolak dengan cara yang tidak santun.
                   “Ah, Ibu! Aku tidak mau.” Tolaknya, dengan nada suara yang menyentak.
                   “Jadi siapa yang akan membeli bumbu dapur kalau bukan kamu, Nak. Ini Ibu sedang
               menggoreng, kalau ditinggal nanti bisa hangus.” Ibunya bingung.
                   “Suruh yang lain saja, aku lelah sekali.” Kata Lala
                   “Tante, biar aku saja yang ke warung.” Aku menyodorkan diri.
                   “Jangan, Tante tidak ingin merepotkanmu, Intan.” Ucapnya.
                   “Tidak repotlah, Tante. Aku justru senang kalau bisa membantu.”
                   Setelah disampaikan apa saja yang harus kubeli, aku bergegas ke warung, lalu kembali
               membantu ibunya Lala mempersiapkan makan siang kami.
                   Sore harinya, aku dan Lala duduk berdua di teras, kami mengobrol apa saja, sampai
               kemudian aku mengingat sikap kurang sopan Lala siang tadi.
                   “Lala, kamu tidak boleh bersikap seperti itu ke ibumu.”  Ungkapku pada Lala.
                   “Sikap yang mana?” Lala seperti tak memahami hal yang sedang kubahas.
                   “Sewaktu ibumu menyuruh ke warung itu. Kau terdengar tidak sopan menjawabnya.”
               Jelasku, dan kulihat ekspresi Lala yang mengingat-ingat kejadian yang kumaksud.
                   “Lala, kita harus sopan dan menghormati orang tua. Sebab mereka yang telah bersusah
               payah membesarkan kita sampai sekarang.” Aku mencoba menasihatinya, agar ia paham
               kekeliruannya.
                   “Betul itu kak Lala, kita harus sopan dan santun, apa lagi kepada orang tua kita.” Tiba-
               tiba adikku Afil turut berkomentar.
                   “Tadi itu aku kelelahan sekali, Intan.” Kilah Lala mencoba menjelaskan.
                   “Iya, tapi caramu menjawab seperti orang yang membentak. Dia itu ibumu, sopanlah
               kalau berbicara dengannya. Bayangkan bagaimana lelahnya ibumu ketimbang lelahmu.
               Dan kau menambah lelahnya denan sikap tak mengenakkan seperti itu. Kalaupun kau
               menolak suruhannya, sampaikan dengan kalimat halus, bukan membetak. Jangan begitu
               lagi, ya?”
                   Lala tampak termenung lalu menganggukkan kepalanya. Ia seakan sudah menyadari
               kekeliruannya  itu.  Aku  pun  mengajaknya  untuk  membantu  ibunya  sebagai  bentuk
               permohonan maaf, kami bersama-sama membersihkan dapur, mencuci piring, dan
               menyapu halaman. Ibunya Lala terheran dengan perubahan sikap Lala yang menjadi
               rajin, namun setelah kujelaskan bahwa itu adalah caranya memperbaiki kesalahan, ia pun
               merasa senang.
                      “Maaf ya, Bu. Kalau selama ini aku bersikap kasar dan kurang sopan.” Ucap Lala.
               Ibunya membalas dengan senyum terharu.
                                                            *****


                                                           89
   108   109   110   111   112   113   114   115   116   117   118