Page 170 - Toponim sulawesi.indd
P. 170

156     Jaringan Maritim Indonesia: Sejarah Toponim Kota Pantai di Sulawesi


               3.3.6. Kema Pintu Masuk Islam di Timur Minahasa


                       Menurut Haji  Ismedjailani Assyaibah  (Juni  2016) adalah  seorang
               keturunan Yaman yang tinggal di Kema III, dikenal sebagai tokoh masyarakat,

               karena pernah juga menjabat sebagai pamong desa di tahun 1982 – 2002,
               desa Kema ini sebenarnya adalah desa Bhineka Tunggal Ika. Masyarakat

               yang hidup di desa ini secara turun-temurun datang dari berbagai tempat.
               Pada masa-masa awal sebelum bangsa-bagsa Eropa datang ke Kema pada
               periode  abad  ke-16  dan  17, sebenarnya orang-orang  dari  jazirah  Arab

               kemungkinan sudah pernah singgah di lokasi ini, yakni  se-abad sebelumnya.
               Dalam cerita orang-orang tua dulu, yang sudah datang dan tinggal di Kema
               sebeleum tahun 1930-an, nama Kema sebenarnya berasal dari bahasa Arab

               “khaima” yang berarti “indahnya pasir di sini”. Disebut demikian, karena
               para musafir, para petualang, saudagar dan pedagang Islam, sering singgah
               dan datang berkemah di tepi pantai yang indah jika dipandang dari lautan.

               Demikianlah kemudian nama lokasi ini disebut “khaima”.

                       Sejarah mencatat bahwa sejak permulaan abad ke-15, hubungan
               antara Ternate dan Gorontalo itu sudah terjadi, dan Kema merupakan salah

               satu jalur lintasan penting para pedagang dan saudagar Islam dari Ternate.
               Mereka  yang  datang,  bukan hanya orang-orang Ternate,  tetapi melalui

               Ternate mereka kemudian mengenal daerah Kema ini. Bukti-bukti adanya
               kehadiran orang-orang dari Jazirah Arab yang beragama Islam singgah atau
               menetap disini, adalah adanya kuburan-kuburan keramat di tajung keramat

               (sekarang) yang berangka tahun 1203 hijriah atau sekitar tahun 1700-an.
               Lokasi  kuburan keramat  ini  oleh  penduduk  setempat,  biasanya  disebut

               “kuburan giri” kuburan di atas gunung, perkebunan/pegunungan Kelong.
               Disebut keramat karena yang meninggal biasanya dikenal sebagai ulama.

                     Walaupun Kema mayoritasnya beragama Kristen, namun khusus Kema

               III sekarang ini dikenal sebagai “kampung Islam” karena memang penduduk
   165   166   167   168   169   170   171   172   173   174   175