Page 171 - Toponim sulawesi.indd
P. 171
Jaringan Maritim Indonesia: Sejarah Toponim Kota Pantai di Sulawesi 157
Islam terbanyak jika dibanding dengan golongan yang lain. Selain itu, karena
setengah dari jumlah keseluruhan 6.368 penduduk yang beragama Islam,
3000-an di antaranya ada di Kema III. Desa yang kecil seperti ini, terdapat 4
mesjid dengan kepadatan rumah-rumah penduduk yang mengapit mesjid.
Mesjid tertua adalah mesjid Riadussalihin, dinamakan sesuai dengan nama
ulamanya. Mesjid ini dibangun permanen sejak tahun 1930-an, sebelum
tahun 1930-an masih dalam bentuk sederhana kayu-papan, dan berlokasi
dekat dengan pantai. Lokasi mesjid sekarang sudah dipindahkan dari pesisir
pantai karena abrasi; ke-2 mesjid Miftahhuljannah, ke-3 mesjid Nurhidayah
Baru, ke-4 mesjid Nurhidayah Batu Nona.
Sebagai daerah pelabuhan dan lintasan jalur pelayaran dan
perdagangan masa lampau, sangatlah wajar kalau penduduk Kema terutama
desa Kema III penduduknya beragam asal-usulnya. Walaupun sekarang ini
suku terbanyak adalah dari Bugis, tetapi sejak lama sudah hidup rukun dan
damai orang-orang Arab, Gujarat, Oman, Bajo, Makassar, Buton, Sumatera,
Jawa, Banjar, Ternate, Tidore, dan Gorontalo. Pada masa kolonial ada istilah
kampung Bajo, namun suku ini di Kema tidak menempati lokasi khusus dan
karena tersebar merata, maka istilah tersebut hilang. Justru, ulama-ulama
penting dan dikenal di daerah ini, umumnya dari Arab dan Ternate, antara
lain: Al Djufri (Asal Yaman datang sekitar tahun 1930-an), Mollahele (Arab),
Assagaf asal keturunan Arab (tahun 1940-an), Riadusalihin asal Ternate
(tahun 1930-an); Ulama Mohdar (Ternate), dll. Selanjutnya, di bidang
pemerintahan, orang-orang yang pernah memegang jabatan penting,
seperti di zaman wijkmeester ada nama Mangkialo, Abdulkadir Lakoro,
kemudian zaman Jepang, ada Hassan Baco (sebagai sunco) di tahun 1950-
an, masa Hukum Tua Muhammad Ombingo.
Dari beberapa nama yang disebut di atas, lebih khususnya nama-nama
Ulama dan tahun kedatangan, ini hanyalah berdasarkan memory kolektif,