Page 100 - PEMIKIRAN INDONESIA MODERN 2015
P. 100
Sejarah Pemikiran Indonesia Modern
Di samping itu, Mohammad Yamin, seorang siswa AMS di Surakarta
yang memiliki hubungan erat dengan peristiwa Kongres Pemuda dalam
menggalang persatuan dan termasuk arsitek dari bangunan kesatuan
Indonesia, menyampaikan pidato berjudul, “Kemungkinan-Kemungkinan
Untuk Bahasa dan Kesusasteraan di Kemudian Hari”. Ia menguraikan dalam
pidatonya, antara lain:
“Dengan tidak mengurangi penghargaan terhadap bahasa daerah,
seperti bahasa Sunda, Aceh, Bugis, Madura, Minangkabau, Rotti,
Batak, dan lain-lain, hanya ada dua bahasa, yaitu bahasa Jawa dan
bahasa Melayu yang mengandung harapan untuk menjadi bahasa
persatuan. Bahasa Melayu akan berkembang secara perlahan menjadi
41
bahasa pergaulan atau bahasa persatuan bagi rakyat Indonesia” .
Di samping itu, Mohammad Yamin menyampaikan pula bahwa
kebudayaan Indonesia di masa depan akan diutarakan dalam bahasa
Melayu. Untuk itu, ia menyatakan betapa perlunya suku bangsa di tanah
air segera memiliki bahasa persatuan, yaitu bahasa kebangsaan.
Menurutnya, hal ini telah diperagai oleh bahasa Melayu. Muhammad
Yamin menutup pembicaraannya secara keseluruhannya yang
disampaikan dalam bahasa Belanda, antara lain:
“Sejarah kini ialah menuju nasionalisme yang dalam dan luas, kearah
kemerdekaan dan tujuan yang luhur, yaitu kebudayaan yang lebih
tinggi nilainya, agar Indonesia dapat mempersembahkan kepada dunia
hadiah yang lebih berharga dan lebih indah, selaras dengan kebangsaan
42
kita”.
Pidato tersebut mendapat komentar Prof. Dr. Hooykaas, yakni:
“Mohammad Yamin akan menjadi pelopor dari usaha pemakaian
bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar dan pergaulan di Indonesia.
Dan, bahasa Belanda secara perlahan pasti akan terdesak karenanya” .
43
Menurut M. Thabroni, sebenarnya pada Kongres Pemuda I
secara aklamasi sudah dapat disetujui bahasa Melayu sebagai bahasa
persatuan. Pendapat Thabroni ini hanya diketahui oleh Muhammad
Yamin dan Djamaluddin (Adi Negoro) bahwa tujuan sebenarnya yang
hendak dicapai adalah satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa. Dan
bahasa itu haruslah bernama bahasa Indonesia bukan bahasa Melayu.
Namun Yamin dan Djamaluddin belum dapat menerima pendapat
92 Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya