Page 189 - Ebook_Toponim Jogja-
P. 189
Toponim Kota Yogyakarta 171
(menghadap raja) kepada Sultan Hadiwijaya, ia juga mencegat penguasa daerah Kedu
dan Bagelen yang hendak menyerahkan upeti kepada Pajang untuk singgah di istana
Mataram. Mereka disuguhi dengan makanan, minuman, dan pesta yang meriah sehingga
lama-kelamaan mereka lebih memilih mampir ke Mataram daripada ke Pajang untuk
menghadap Hadiwijaya.
Tindakan Ngabehi Loring Pasar itu diketahui oleh Hadiwijaya. Ia mengutus Ki
Wilamarta dan Ki Wuragil ke Mataram untuk memerintahkan Ngabehi Loring Pasar
agar menghentikan kebiasaan makan, minum, serta agar ia mencukur rambutnya. Akan
tetapi, Ngabehi Loring Pasar menolak. Hubungan antara Pajang dengan Mataram pun
memanas. Ditambah dengan kejadian saat Pangeran Benawa, putra Hadiwijaya, dan
tentara Pajang berkunjung ke Mataram serta penolakan Ngabehi Loring Pasar atas
penjatuhan hukuman mati terhadap iparnya, Bupati Mayang. Kala itu Bupati Mayang
disalahkan atas perbuatan mesum anaknya, Raden Pabelan, terhadap putri Sekar
Kedaton. Tindakan Ngabehi Loring Pasar yang justru membebaskan Bupati Mayang
dari hukuman membuat Hadiwijaya murka sehingga pada tahun 1582 ia menyerbu
Mataram. Namun, saat pasukan Pajang sampai di Prambanan, gunung Merapi meletus
dan mereka terpaksa mundur. Sultan Hadiwijaya yang pada waktu itu sakit akhirnya
meninggal dunia.
Pengganti Sultan Hadiwijaya adalah menantunya, yaitu Adipati Demak. Penetapan itu
membuat Pangeran Benawa kecewa. Ia kemudian bekerjasama dengan Ngabehi Loring
Pasar untuk menyingkirkan Adipati Demak dengan imbalan Kesultan Pajang. Adipati
Demak akhirnya berhasil disingkirkan dan daerah Kesultanan Pajang diserahkan kepada
Danang Sutawijaya. Tahun 1586 Sutawijaya dinobatkan menjadi Sultan Mataram dengan
gelar Senapati Ing Alaga Sayidin Panatagama. Kesultanan Mataram atau Kerajaan
Mataram Islam meliputi seluruh daerah Pajang dan berpusat di Kotagede.
Pada masa Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Kotagede banyak dihuni oleh orang-
orang Kalang yang hampir semuanya berprofesi sebagai pedagang di Pasar Gedhe yang
saat itu sangatlah ramai. Keberadaan orang Kalang di Kotagede ini pernah diberitakan
di majalah Narpawandawa (No. 4, 1 April 1933) sebagai berikut:
“...Kacariyos tiyang kalang punika sapunikanipun kathah ingkang gêgriya wontên
ing Kuthagêdhe (Ngayogyakarta) tuwin sanès- sanèsipun, têtiyang kalang wau
gêsangipun sae, karukunanipun pasadhèrèkan pantês sinudarsana, rêmênipun tulung

