Page 206 - Modul P5 Spenfoursada
P. 206
Adakah sastra yang menyebutkan adanya penggunaan Ketupat dalam
Upakara ?
Segala kegiatan yang dilakukan oleh umat Hindu pada dasarnya untuk
kerahayuan bersama, apalagi yang namanya Ketupat, sebagai sarana upakara untuk
persembahan yang dikerjakan dengan tangan trampil. Dalam Bhagawadgita, III, 14
ada disebutkan ;
Annad bhavati bhutani, Parjayad annasambhawah, Yajna bhavati parjanyo, Yajna
karma samudbhawah.
Artinya : Karena makanan, makhluk dapat hidup. Karena hujan makanan itu
tumbuh, Karena yadnya/persembahan hujan itu turun Persembahan itu ada karena
kerja (karma).
Dari sloka di atas kata anna (m) adalah Bahasa Sanskerta kemudian masuk
dalam Bahasa Bali annam (an) yang artinya makanan. Di Bali kalau sudah ada yang
meneyebutkan anaman (Alus singgih ) berarti Ketupat (Bahasa Indonesia),
kemudian menjadi Bahasa lumbrahnya yaitu : Ketipat , dan sering kita mendengar
ucapan “numbas anaman” artinya membeli ketupat (meli Tipat), yang pada intinya
membeli makanan.
Disamping itu melihat keberadaan dan mata pencaharian umat Hindu pada
jaman dahulu adalah agraris, sehingga umat Hindu sangat yakin dan percaya
kebesaran saktinya Dewa Wisnu yakni Dewi Sri. Dewi Sri adalah identik dengan
Dewi Padi atau Dewi kemakmuran, maka dari itu umat Hindu selalu mengutamakan
mempersembahkan terlebih dahulu atas hasil pertanian yang diperoleh dari tanah
yang mereka olah. Penghormatan dan wujud puji syukur serta ungkapan
terimakasihnya kehadapan Tuhan Yang Maha Esa dalam hal ini Dewi Sri yang telah
menganugerahkan umat-Nya kesuburan maka umat Hindu mengolah padi atau beras
dalam berbagai wujud seperti berupa Bubur, Nasi, Jajan dan Ketupat.
Semua olahan dari bahan beras dipergunakan dalam upakara. Jika umat
Hindu yang Petani di Bali sebelum memanen padinya pasti menggunakan Upakara
yang lumbrah disebut Mabyukukung, dimana upakara ini menggunakan berbagai
jenis ketupat, namun sekarang sudah jarang kita dapat temui karena alih lahan yang
sedang merambah pertanian kita. Sumber lain menyebutkan, Ketupat adalah salah
sarana upakara yang telah ada sejak jaman Bali Mula (882–913), Shri Aji Bhumi
Banten, Shri Kesari Warmadewa Udayana di Bali hingga cucunya Airlangga yang
menjadi Raja di Jawa mengatakan bahwa Bebantenan adalah sarana/bahasa/lambang,
hubungan kesadaran manusia dengan Hyang Agung (Makrokosmos), Ketupat
tersebut hasil ketrampilan tangan yang termasuk hasil budaya, membutuhkan
ketelatenan, kesabaran dengan mengkait-kaitkan janur / Busung sehingga
menghasilkan bentuk yang dibutuhkan.
Ketupat setelah selesai dibuat sesuai dengan bentuk yang diperlukan oleh
SMP Negeri 4 Sukasada