Page 47 - MAJALAHBELMAWA
P. 47

OPINI
Dilema Penjaminan Mutu
Kepanikan. Ini fenomena di banyak Perguruan Tinggi (PT) menjelang audit mutu, baik internal maupun eksternal. Siapa “tersangka” paling empuk untuk dituding sebagai biang masalah? “Korban” itu bernama Unit/Badan/Lembaga Penjaminan Mutu. Tuduhan ini bisa dijusti kasi karena tugas dan wewenang lembaga ini yang berkutat dengan mutu seluruh aktivitas unit-unit di PT. Sebagaimana yang diatur dalam PP. No. 4 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi, diwajibkan untuk menyelenggarakan unit atau badan pengawas dan penjamin mutu. Maka, hampir semua kegiatan di lingkungan PT harus memiliki standar dan prosedur mutu yang jelas. Anekdotnya, hanya bernafas saja yang barangkali tidak memiliki SOP dalam aktivitas pendidikan tinggi.
Pertanyaan kritis yang muncul terkait penjaminan mutu adalah, “Apakah keprihatinan mutu penyelenggaraan unit-unit perguruan tinggi adalah murni dosa yang harus ditanggung oleh Unit/ Badan/Lembaga Penjaminan Mutu?” Agar dapat menjawabnya, maka parameter manajemen perlu dilakukan. Tiga alat analisis yang dapat digunakan adalah, input process output. Mutu PT dan unit-unit didalamnya, jelas merupakan keluaran (output) dari pengelolaan seluruh masukan (input) dalam suatu rangkaian proses mutu.
Output mutu berdampak pula pada preferensi masyarakat untuk memilih PT. Logika sederhananya, “Siapa yang mau kuliah di PT yang akreditasinya C atau bahkan tak berakreditasi sama sekali?’ Preposisi umum yang berlaku, semakin baik akreditasi, semakin tinggi minat masyarakat. Maka output yang dimaksud di sini adalah seluruh konsekuensi yang terjadi akibat proses pengelolaan kombinasi input di dalamnya.
Input Tata Kelola Mutu PT
Jika mendiskusikan input dalam konteks modal  nansial, Kita seketika menghadapi masalah klise berupa keterbatasan dana. Pendanaan proses mutu jelas dibutuhkan, namun bukan satu-satunya prediktor yang menentukan. Dari banyak temuan audit, carut-marut mutu justru lebih sering terjadi pada proses dokumentasi dan konsistensi. Formulir (borang) isian audit sering dipertanyakan auditor karena tidak didukung bukti-bukti  sik pelaksanaan.
Unsur manusia adalah prediktor utama mutu. Sumber Daya Manusia (SDM) juga sama klisenya dengan masalah pendanaan, tetapi faktanya memang masih menjadi momok bagi pengelolaan mutu. Tidak sekedar bisa kerja, tetapi tahu apa yang dikerjakan, dengan cara seperti apa seharusnya dikerjakan, serta bagaimana mengukur standar kesuksesan hasil kerja. Tetapi hal ini sulit diimplementasikan, baik di tingkat pelaksana mutu maupun pengawas mutu itu sendiri. Sudah menjadi rahasia umum bahwa politik organisasi di PT tidak berbeda dengan politik praktis di luar kampus.
Paradigma pragmatis, personal, dan politis berada di urutan wahid ketika melakukan penempatan struktural. Prinsip job- t competence (meskipun tidak sepenuhnya diabaikan) alih-alih menjadi pertimbangan utama, justru kerap menjadi sekedar supporting factor. Kompetensi tidak sekedar hard dan soft skill tetapi juga membutuhkan kemampuan  sik dan ketersediaan waktu yang memadai, serta tentu saja tidak mengorbankan kewajiban tridarma seorang dosen. Faktanya, banyak auditor dalam temuannya menyampaikan dengan malu- malu atau sungkan untuk menyematkan kata “tidak berkualitas” pada seorang pejabat dan mempercantik bahasanya dengan menyebutkan, “sudah lumayan, tapi masih butuh banyak perbaikan...”. Tetapi tentu Kita harus fair dalam menilai. Pejabat-pejabat struktural adalah para dosen yang diberdayakan.
Dosen, sesuai amanat UU No. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi, adalah pendidik sekaligus peneliti serta pengabdi masyarakat dalam waktu yang bersamaan. Beban tridarma ini memang berat, terlebih harus ditambah tugas- tugas administratif terkait kinerja dosen saat ini kebanyakan tidak lagi dilakukan oleh Tata Usaha, tetapi sudah dibebankan kepada dosen yang bersangkutan. Beban itu seketika bertambah saat tangan pimpinan menariknya duduk di kursi struktural. Maka, tumpukan berkas bahan ajar, absensi, tugas, ujian, proposal, kuitansi dan laporan penelitian dan pengabdian, berkelindan kusut masai dengan antrian berkas unit kerja dimana ia ditempatkan. Belum lagi jika yang bersangkutan sedang kuliah doktoral. Tak jelas lagi, mana yang wajib mana yang sunnah. Skala prioritaspun bias. Fungsi pendidik, kreator dan inovator ilmu pengetahuan, sebagaimana yang diisyaratkan dalam UU No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, terminimalisir oleh kesibukan sebagai administrator.
BAHANA BELMAWA
47


































































































   45   46   47   48   49