Page 703 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 6 OKTOBER 2020
P. 703
Pembahasan 938 poin yang masuk ke dalam Daftar Inventaris Masalah pun terbilang kilat. Sejak
Panja RUU Minerba terbentuk pada 13 Februari, hanya butuh waktu tiga bulan bagi panja untuk
menyelesaikan pembahasan.
Pada saat pengambilan keputusan di rapat paripurna, hanya Fraksi Demokrat yang menolak dan
meminta ulang pembahasan RUU itu. Sedangkan, sembilan fraksi lainnya setuju untuk disahkan.
Pengesahan RUU ini bukan tanpa penolakan. Salah satu pihak yang menolak yaitu kelompok
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM).
Beberapa poin yang ditolak seperti perpanjangan Kontrak Karya (KK) atau Perjanjian Karya
Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) tanpa pelelangan.
Kemudian, meski ada penambahan, penghapusan serta perubahan pasal yang berkaitan dengan
kewenangan dan pengusahaan perizinan, namun tidak ada satu pun pasal yang mengakomodasi
kepentingan atas dampak industri pertambangan dan kepentingan masyarakat di daerah
tambang serta masyarakat adat.
Pada akhir Maret lalu, Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem
Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman
yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Penerbitan perppu tersebut dilakukan untuk merespon munculnya kasus Covid-19 di Tanah Air
sejak 2 Maret 2020.
Bersamaan dengan terbitnya perppu itu, Jokowi turut menerbitkan dua aturan lain yaitu
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 dan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020.
Persoalan timbul ketika Perppu 1/2020 dinilai memberikan hak imun kepada penyelenggara
negara dalam mengambil keputusan.
Hal itu tertuang di dalam Pasal 27 beleid tersebut, dimana pejabat yang ditunjuk untuk
melaksanakan kebijakan itu tak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana, asalkan
dalam melaksanakan tugasnya didasari pada itikad baik.
Aturan di dalam perppu itu kemudian digugat oleh sejumlah pihak ke Mahkamah Konstitusi.
Namun, akhirnya disahkan di DPR pada 12 Mei 2020.
Revisi UU Mahkamah Konstitusi sempat dikhawatirkan oleh sejumlah pihak lantaran diduga
sebagai barter politik.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menuturkan, indikasi barter itu
karena revisi ini menguntungkan hakim konstitusi lantaran tak lagi mengatur masa jabatan bagi
hakim konstitusi.
Selain itu, RUU MK juga mengubah batas usia minimum hakim konstitusi dari 47 tahun menjadi
60 tahun di mana sejumlah hakim konstitusi telah berusia di atas 60 tahun.
Sementara, DPR dan pemerintah dianggap mempunyai kepentingan karena MK tengah
menangani judicial review sejumlah undang-undang kontroversial.
"Pemerintah dan DPR sudah pasti menginginkan proses judicial review terkait dengan UU KPK
atau nanti soal Cipta Kerja jika disahkan oleh DPR," ujar Kurnia saat konferensi pers pada 28
Agustus lalu.
702

