Page 359 - KLIPING KETENAGAKERJAAN 28 SEPTEMBER 2020
P. 359

"Tentu ini menimbulkan pertanyaan sense of crisis dan sense of agility pemerintah," terang dia
              lewat diskusi daring 'Sosialisasi Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2020'.
              Diketahui,  iuran  JKK  dan  JKM  merupakan  kewajiban  yang  dibebankan  sepenuhnya  kepada
              pengusaha selaku pemberi kerja. Besarnya iuran JKK berkisar 0,24 persen hingga 1,74 persen
              dari upah (gaji pokok dan tunjangan) bergantung tingkat risiko lingkungan pekerjaan, sedangkan
              iuran JKM sebesar 0,3 persen dari upah.

              Sementara, untuk iuran JHT dan JP yang besarannya masing-masing 5,7 persen dan 3 persen
              dari upah ditanggung bersama antara pengusaha dan pekerja.

              Untuk JHT, pengusaha menanggung sebesar 3,7 persen dan pekerja menanggung 2 persen,
              sedangkan dalam iuran JP pengusaha menanggung 2 persen dan pekerja sebesar 1 persen.

              Direktur Eksekutif Indef Ahmad Tauhid menilai seharusnya diskon iuran 99 persen yang diberikan
              kepada pengusaha tak terbatas pada JKM dan JKK, melainkan juga JHT dan JP. Sebab, hanya
              dengan  hitung-hitungan  kasar,  dapat  terlihat  dampak  relaksasi  iuran  yang  kini  tengah
              disosialisasikan itu sangat minim.

              Pengusaha  perhotelan  (dengan  tingkat  risiko  pekerjaan  rendah)  yang  memiliki  300  pekerja
              berupah rata-rata sebesar 6,5 juta, misalnya, harus membayar iuran untuk JKT dan JKM sebesar
              Rp10,53 juta tiap bulannya.

              Sementara, untuk JHT dan JP yang total tanggungannya mencapai 5,7 persen, uang yang harus
              dikeluarkan untuk membayar iuran mencapai Rp111,15 juta.

              Jika dijumlahkan, total kewajiban iuran pengusaha perhotelan tersebut mencapai Rp121,68 juta
              per bulan. Artinya, jika yang dihilangkan hanya program JKK dan JKM, maka bantuan keringanan
              yang diberikan pemerintah kepada pengusaha hotel itu tak sampai 9 persen.
              "Hasil investasi BPJS Ketenagakerjaan tahun lalu Rp29,2 triliun. Sementara, berapa sih premi
              yang dibayarkan pengusaha? Saya kira nggak sebesar itu dalam setahun. Dana yang dikelola
              BPJS ketenagakerjaan kan hampir Rp 400 triliun. Kalau di taruh di surat utang aja 60 persen
              dengan SBN 8 persen itu masih jauh lebih besar dari insentif yang diberikan ke pengusaha itu,"
              tuturnya.

              Belum lagi, pemerintah membatasi fasilitas relaksasi iuran BPJS Ketenagakerjaan itu hanya pada
              perusahaan  yang  omzetnya  merosot  lebih  dari  30  persen.  Menurutnya,  hal  itu  berpotensi
              membuat program relaksasi iuran BPJS Ketenagakerjaan tidak efektif.

              "Perusahaan yang terdampak di atas 30 persen, menurut saya, memang cukup banyak. Tapi kan
              nanti  harus  dibuktikan  di  laporan  keuangan  mereka  dan  perpajakan.  Kalau  ada  kesalahan
              pencatatan keuangan bagaimana? Repot. Dan, kalau mereka disuruh ngurus ngapain juga, kan
              tidak terlalu besar (insentifnya). Bisa enggak efisien," ucapnya.

              Karenanya,  Tauhid  menyarankan  agar  program  relaksasi  ini  segera  dievaluasi  dan  cara
              penyalurannya diubah dari semula pengajuan relaksasi oleh pengusaha jadi pemberian secara
              langsung dari pemerintah ke sektor-sektor usaha yang terdampak pandemi.

              Apalagi, survei yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Juni dan Juli lalu menunjukkan
              sebanyak 82,29 persen Usaha Menengah Besar (UMB) dan 84,20 persen Usaha Mikro Kecil (UMK)
              pendapatannya menurun selama pandemi corona.
              Bahkan, 55,32 persen pengusaha yang disurvei lembaga tersebut menyatakan tidak yakin dapat
              bertahan jika pandemi covid-19 tak segera reda dan mereka tidak memperoleh bantuan dari
              pemerintah.

                                                           358
   354   355   356   357   358   359   360   361   362   363   364