Page 7 - KLIPING KETENAGAKERJAAN 25 JUNI 2021
P. 7
Akibat pembatasan tersebut, pelaku bisnis perhotelan juga tidak bisa memanfaatkan momentum
tahunan seperti Lebaran, Natal, dan Tahun Baru. Pada saat Lebaran dua tahun terakhir,
pemerintah menerapkan larangan mudik. Liburan Natal juga diperpendek. Walhasil, tamu pun
sepi dan tingkat okupansi tetap rendah.
Tingkat okupansi yang rendah juga dikemukakan oleh Ketua BPD Persatuan Hotel dan Restoran
(PHRI) DKI Jakarta, Sutrisno Iwantono. Dia mengatakan, pada akhir tahun dan awal 2021,
tingkat okupansi hotel-hotel di Jakarta sempat naik meskipun belum kembali ke posisi seperti
sebelum pandemi.
"Awal 2021, sebenarnya tingkat okupansi baik khususnya pada Maret 2021. Begitu puasa, tingkat
hunian kembali turun. Sebetulnya, kami berharap setelah Lebaran, hotel-hotel akan kembali
dipenuhi tamu, tapi saat ini muncul ancaman kasus Covid-19 kembali melonjak tinggi," katanya
kepada Lokadata.id.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel klasifikasi
bintang meningkat sejak Oktober 2020 sampai akhir tahun. Di Januari 2021, TPK kembali turun
tetapi meningkat pada Februari ke Maret dengan mencapai rata-rata 36 persen.
Kendati sempat naik, pertumbuhan okupansi hotel tersebut tak bisa mengkompensasi kerugian
pelaku usaha hotel akibat pandemi. Sebab, untuk meningkatkan okupansi, pengusaha harus
menurunkan harga. "Harus diingat juga, bicara tentang hotel tidak hanya soal okupansi.
Walaupun okupansi meningkat, harga kamar turun," katanya.
Pelaku usaha hotel, kata Maulana Yusran dan Sutrisno Iwantono, bisa dibilang sudah kehabisan
akal untuk mendongkrak tingkat keterisian hotel. Menurutnya pelbagai macam strategi sudah
dilakukan seperti membuat program bekerja dari hotel ( work from hotel), belajar dari hotel (
study from hotel), hingga staycation.
"Namun, selama mobilitas ditahan, program-program tersebut tidak ada artinya. Program-
program tersebut, seperti staycation, juga hanya efektif di beberapa kota besar seperti Jakarta.
Selain itu, staycation juga hanya menarik dilakukan di hotel-hotel bintang 3 ke atas," kata
Maulana.
Peraih gelar Magister di bidang Manajemen Universitas Southern New Hampshire, Amerika
Serikat ini menambahkan, pelaku usaha perhotelan juga melakukan pelbagai cara untuk efisiensi,
salah satuya adalah mengefisiensikan biaya energi. Dengan rata-rata okupansi hanya 30-35
persen, langkah itu yang paling mungkin dilakukan.
"Artinya, ada lebih dari 50 persen kapasitas yang tidak digunakan. Jadi mereka bisa mengurangi
kapasitas dan kemudian menurunkan daya listrik. Beberapa ruangan yang tidak digunakan
seperti ballroom juga dimatikan sementara," kata dia. Biaya pemakaian listrik pun berkurang.
Karena ada beberapa ruangan atau fasilitas yang tidak digunakan, hal itu berdampak juga
terhadap penggunaan tenaga kerja. Menurut catatan PHRI, efisiensi tenaga kerja ini bisa
mencapai 50 persen. Pada September 2020, diperkirakan ada 500 ribu pekerja hotel yang di-
PHK atau dirumahkan tanpa gaji. Jumlahnya bisa bertambah sekarang.
Selain efisiensi, pelaku usaha hotel juga mengajukan pinjaman untuk bertahan. Namun, Maulana
menyebutkan ada beberapa persoalan terkait pinjaman. Meski pemerintah sudah melonggarkan
aturan untuk melakukan restrukturisasi, implementasi pelonggaran tersebut sering tidak berjalan
lancar di lapangan.
"Ini rumit dan dilematis karena perbankan melihat potensi debitur dari pelbagai sisi. Misalnya,
perbankan sulit memberikan modal kerja karena mereka melihat tiga hal, yaitu arus kas, konsep
6