Page 147 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 23 OKTOBER 2020
P. 147
berlaku saat ini. Secara umum employment pelaut di Indonesia dituangkan ke dalam Perjanjian
Kerja Laut (PKL) yang mengacu kepada Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), Buku II,
Bab 4. Di samping itu, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), terutama Bagian Kedua,
Ketiga, Keempat dan Kelima, Bab Ketujuh A, Buku Ketiga. Aturan KUHPer ini mengatur tentang
Perjanjian Untuk Melakukan Pekerjaan. Perjanjian ini ditandatangani dihadapan syahbandar di
mana calon pelaut akan naik kapal ( sign on ).
Selain aturan peninggalan Belanda di atas, penempatan pelaut dalam negeri diatur dalam
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 200 Tentang Kepelautan. Aturan ini juga sama
tuanya. PP ini dibuat sebagai pelaksanaan berbagai amanat yang berhubungan dengan
kepelautan yang ada dalam UU Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran. Masalahnya, undang-
undang ini sudah diganti dengan yang baru, yakni UU Nomor 17 Tahun 2008.
PKL yang ada menempatkan pelaut sebagai pekerja kontrak. Dalam pola hubungan ini pelaut
sangat lemah posisinya dan akhirnya diperlakukan semena-mena. Perlakuan semena-mena itu
terlihat, misalnya, dalam kebijakan pengupahan. Sering sekali pelaut menerima upah di bawah
nilai yang tertera dalam PKL.
Menariknya, upah yang dicantumkan dalam Perjanjian Kerja Laut itu jauh di bawah standar upah
minimum yang berlaku di provinsi/wilayah di mana kesepakatan antara awak kapal dan pemilik
kapal dibuat. Pelaut juga tidak diikutsertakan ke dalam program jaminan sosial yang berlaku.
Padahal, pelaut dikategorikan sebagai pekerja tetap, bukan pekerja musiman. Sehingga, tidak
tepat bila terhadap mereka diberlakukan hubungan kerja waktu tertentu atau PKWT/kontrak.
Dalam praktiknya, PKL yang menjadi 'hitam di atas putih' itu tidak semuanya diserahkan
naskahnya kepada pelaut oleh pemilik kapal yang mempekerjakan mereka. Sehingga para pelaut
tidak tahu apa yang menjadi hak dan kewajibannya. Cilakanya, PKL yang ada tidak memuat
kejelasan status hubungan kerja pelaut dengan pemberi kerja/pelayaran. Syahbandar diam saja
melihat praktik eksploitatif ini.
Sementara itu, ada begitu banyak perubahan dalam pengaturan employment pelaut, salah
satunya, pemberlakuan Maritime Labor Convention 2006 di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Namun, tetap saja yang dijadikan acuan PP Nomor 7/2000. Jelas tidak nyambung.
Mengapa pelaut perlu upah tersendiri atau sektoral? Karena profesi ini tergolong unik, berbeda
dari profesi lainnya. Contoh sederhana. Bila pekerja pada sektor lain pabrik/kantor/tempat
bekerja terpisah, tidak begitu halnya dengan pelaut. Dengan terpisahnya tempat kerja dan
tempat istirahat, pekerja non-pelaut dapat beristirahat dengan sempurna. Sehingga, tubuh
mereka bugar. Selanjutnya, tempat kerja mereka relatif lebih terbuka dengan sirkulasi udara
yang lebih alami. Di sisi lain, pelaut bekerja dan beristirahat di tempat yang sama, ruang kerjanya
pun sebagian besar ditutupi dengan pelat-pelat baja. Akhirnya tak terhindari sirkulasi udara
diatur oleh berbagai exhaust fan dan AC; udara tak lagi alami.
Tak hanya itu. Pelaut juga menghadapi lingkungan alam yang selalu berubah. Kadang dihadang
badai, terkatung-katung di lautan karena kerusakan mesin kapal. Tak jarang pula disatroni
perompak. Last but not least, menjadi pelaut membutuhkan pendidikan khusus dengan sekoper
sertifikat seperti yang diatur oleh International Maritime Organization (IMO), organisasi di bawah
naungan PBB yang mengurusi kemaritiman dunia. Apa mau dikata, dengan semua kondisi tempat
bekerja dan kualifikasi yang dipersyaratkan, gaji/upah pelaut dalam negeri masih menyedihkan.
Merebaknya virus corona membuat kondisi pelaut domestik makin nelangsa. Tidak ada langkah
khusus yang disiapkan untuk mereka agar kuat menghadapi situasi pandemi. Di sisi lain, mereka
harus tetap bekerja mengirim barang ke seluruh pelosok negeri. Kini, kondisi yang tidak
menguntungkan itu diperparah dengan pemberlakuan UU Cipta Kerja (oleh pelaut sering
diplesetkan menjadi UU Cilaka [Cipta Lapangan Kerja]). Aturan ini ternyata tidak menertibkan
146