Page 408 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 4 NOVEMBER 2020
P. 408
pengusaha bisa mengontrak berulang-ulang dan terus-menerus tanpa batas periode
menggunakan PKWT atau karyawan.
“Dengan demikian, PKWT (karyawan kontrak) bisa diberlakukan seumur hidup tanpa pernah
diangkat menjadi PKWTT (karyawan tetap). Hal ini berarti, tidak ada job security atau kepastian
bekerja,” ungkapnya.
Padahal dalam UU No 13 Tahun 2003, PKWT atau karyawan kontrak batas waktu kontraknya
dibatasi maksimal 5 tahun dan maksimal 3 periode kontrak. Dengan demikian, setelah menjalani
kontrak maksimal 5 tahun, maka karyawan kontrak mempunyai harapan diangkat menjadi
karyawan tetap atau permanen apabila mempunyai kinerja yang baik dan perusahaan tetap
berjalan. Tetapi UU 11 Tahun 2020 menghilangkan kesempatan dan harapan tersebut.
Kemudian, Outsourcing seumur hidup, UU No 11 Tahun 2020 menghapus Pasal 64 dan 65 UU
No 13 Tahun 2003. Selain itu, juga menghapus batasan 5 (lima) jenis pekerjaan yang terdapat
di dalam Pasal 66 yang memperbolehkan penggunaan tenaga kerja outsourcing hanya untuk
cleaning service, cattering, security, driver, dan jasa penunjang perminyakan.
Dengan tidak adanya batasan terhadap jenis pekerjaan yang boleh menggunakan tenaga
outsourcing, maka semua jenis pekerjaan di dalam pekerjaan utama atau pekerjaan pokok dalam
sebuah perusahaan bisa menggunakan karyawan outsourcing. Hal ini mengesankan negara
melegalkan tenaga kerja diperjual belikan oleh agen penyalur. Padahal di dunia internasional,
outsourcing disebut dengan istilah modern slavery (perbudakan modern).
Dengan sistem kerja outsourcing, seorang buruh tidak lagi memiliki kejelasan terhadap upah,
jaminan kesehatan, jaminan pensiun, dan kepastian pekerjaannya.
“Karena dalam praktik, agen outsourcing sering berlepas tangan untuk bertanggungjawab
terhadap masa depan pekerjanya. Hal ini, karena, agen outsourcing hanya menerima success
fee per kepala dari tenaga kerja outsourcing yang digunakan oleh perusahaan pengguna (user),”
ungkapnya.
Oleh karena itu, KSPI meminta penggunaan tenaga kerja outsourcing hanya dibatasi 5 jenis
pekerjaan saja sebagaimana diatur dalam UU No 13 Tahun 2003.
Selanjutnya, nilai pesangon dikurangi. UU No 11 tahun 2020 mengurangi nilai pesangon buruh,
dari 32 bulan upah menjadi 25 upah (19 dibayar pengusaha dan 6 bulan melalui Jaminan
Kehilangan Pekerjaan yang dibayarkan BPJS Ketenagakerjaan).
Hal ini jelas merugikan buruh Indonesia, karena nilai jaminan hari tua dan jaminan pensiun buruh
Indonesia masih kecil dibandingkan dengan beberapa neagra ASEAN. Bandingkan dengan
Malaysia. Di sana, jumlah pesangon antara 5-6 bulan upah. Tetapi nilai iuran jaminan hari tua
dan pensiun buruh Malaysia mencapai 23 persen. Sedangkan buruh Indonesia nilai JHT dan
pensiunnya hanya 8,7 persen.
“Akibat nilai jaminan sosial yang lebih kecil itulah, wajar jika kemudian negara melindungi buruh
melalui skema pesangon yang lebih baik. Oleh karena itu, KSPI meminta nilai pesangon
dikembalikan sesuai isi UU 13/2003,” tuturnya.
Dijelaskan Said Iqbal, hal lainnya yang disoroti buruh dari UU No 11 Tahun 2020 adalah, PHK
menjadi mudah dengan hilangnya frasa batal demi hukum terhadap PHK yang belum ada
penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Kemudian TKA buruh
kasar cenderung akan mudah masuk ke Indonesia karena kewajiban memiliki izin tertulis menteri
diubah menjadi kewajiban memiliki recana penggunaan tenaga kerja asing yang sifatnya
pengesahan, cuti panjang berpotensi hilang karena menggunakan frasa dapat, jam kerja dalam
407