Page 150 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 26 JUNI 2020
P. 150
Mitigasi pekerja rentan dalam rilis BPS (5/5) tentang ketenagakerjaan pada Februari 2020, atau
sebelum mewabahnya pandemi, dapat dimiti-gasi besaran pekerja rentan di Tanah Air. Mitigasi
pekerja rentan dalam rilis itu dapat dilakukan berdasarkan proksi terhadap pekerja yang
berusaha sendiri, pekerja bebas di pertanian dan nonperta-nian. serta pekerja keluarga tidak
dibayar.
Dari rilis survei angkatan kerja nasional (saker-nas) pada Februari 2020 itu dapat dicermati dari
total penduduk bekerja, yang berusaha sendiri sekitar 18,76%, pekerja bebas di pertanian
3,74%, pekerja bebas nonpertanian 4,42%, dan pekerja keluarga tidak dibayar 13,16%. Secara
akumulatif, pekerja rentan di Tanah Air sebanyak 40,08%.
Kehidupan pekerja rentan yang menganggur selama pembatasan sosial diperkirakan
memprihatinkan karena untuk menjalani keseharian hidup umumnya bergantung pada
pendapatan harian. Meski, misalnya, sebagian di antara pekerja rentan memperoleh bantuan
sosial, hal itu diperkirakan hanya untuk sekadar benahan hidup.
Apalagi, pekerja rentan yang tidak mendapat bantuan sosial tentunya akan mengalami
kehidupan yang lebih memprihatinkan. Atas dasar itu, bekerja bagi pekerja rentan merupakan
hal mendesak guna memenuhi kebutuhan hidup meski besaran pendapatannya masih jauh dari
layak.
Berdasarkan survei upah buruh Mei 2020 oleh BPS diperoleh catatan rata-rata upah buruh
bangun an per hari di perkotaan sebesar Rp89.684 atau lebih dari Rp2 juta sebulan. Sementara
rata-rata upah buruh tani per hari Rp55.396 atau lebih dari Rpl,3 juta per bulan dengan 24 hari
kerja sebulan.
Pendekatan sektor informal penciptaan lapangan kerja bagi pekerja rentan dalam era
kenormalan baru diperkirakan bisa diwujudkan jika pemerintah dapat mengimplementasikan
kebijakan melalui pendekatan sektor informal. Hal itu mengingat pekerja rentan umumnya
berusaha dan bekerja di sektor informal.
Bagi yang berusaha di sektor informal pemerintah memang telah meluncurkan sejumlah
program, antara lain dengan menyalurkan kredit ultramikro untuk kelompok miskin informal,
juga memberikan insentif berupa pengurangan atas pajak yang harus dibayarkan pada pekerja
informal kelompok menengah.
Namun, pengalaman lalu menunjukkan penyaluran kredit, khususnya bagi pekerja informal,
kerap tidak terserap secara optimal. Ditengarai, hal itu terjadi karena ketidaktahuan dalam
memperoleh kredit, pun kekhawatiran atas ketidakmampuan
dalam pengembaliannya.
Sepatutnya, kelemahan itu segera diperbaiki dengan meningkatkan sosialisasi dan bantuan
teknis dalam penyaluran kredit. Ke depan, amat diharapkan bantuan untuk mengembangkan
sektor informal dapat terus dilakukan pemerintah. Artinya, bantuan usaha seperti permodalan
dan keringanan pajak yang harus dibayarkan tidak terhenti ketika pandemi Covid-19 nantinya
sudah mereda. Dengan demikian, sektor ini diharapkan dapat naik kelas ke sektor formal
Pemerintah memang perlu serius menggerakkan sektor informal untuk lebih banyak menyerap
tenaga kerja. Mengingat selama ini ditengarai belum dilakukan optimal. Hal itu mungkin
disebabkan sektor informal belum menjadi target penggerak ekonomi dan sumber penerimaan
pajak karena produktivitas sektor informal masih rendah.
Menurut perhitungan Mc Kinsey Global Institute, produktivitas sektor informal 50% lebih rendah
daripada produktivitas sektor formal. Bagi pekerja informal, penciptaan lapangan bekerja di era
kenormalan baru perlu diupayakan pemerintah melaluipengaturan pelaksanaan proyek
149

