Page 107 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 23 JUNI 2021
P. 107
DUH. PARA PEKERJA KONTRAK RAWAN TAK DAPATKAN JKP, PADAHAL PERLU
JAKARTA -- Pemerintah dinilai perlu meninjau cakupan pemberian manfaat program jaminan
kehilangan pekerjaan atau JKP bagi pekerja kontrak. Mereka yang membayar iuran perlu
mendapatkan manfaat jaminan sosial, terlebih dalam kondisi ekonomi di tengah pandemi Covid-
19.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menjelaskan bahwa program tersebut sudah
berjalan seiring terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) 37/2021 tentang Penyelenggaraan Program
JKP. Selain itu, akan terdapat aturan turunan dalam bentuk Peraturan Menteri Ketenagakerjaan.
Menurut Timboel, jika mengacu ke PP 37/2021, program JKP baru memberikan perlindungan
bagi satu dari tiga segmen peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Ketenagakerjaan, yakni pekerja penerima upah (PPU).
Segmen lainnya, yakni pekerja bukan penerima upah (PBPU), pekerja migran Indonesia (PMI),
dan pekerja jasa konstruksi dinilai tidak bisa memperoleh manfaat JKP. Menurut Timboel, hal
tersebut terjadi karena syarat menerima JKP adalah pekerja terkena pemutusan hubungan kerja
(PHK).
"Peserta mandiri atau PBPU agak susah menentukan dia kehilangan pekerjaan. PMI dia kalau
dipulangkan itu sebenarnya PHK, lalu, jasa konstruksi itu memang dari awal jelas kapan dia akan
berakhir pekerjaannya tapi setelah itu dia kan kehilangan pekerjaan, dan mereka selama bekerja
membayar iuran," ujar Timboel kepada Bisnis, Selasa (22/6/2021).
Timboel menilai bahwa kondisi itu rentan menyebabkan karyawan kontrak atau pekerja-pekerja
di ketiga segmen tadi tidak bisa memperoleh manfaat JKP. Padahal, mereka termasuk pekerja
yang harus dibantu saat kehilangan pekerjaan.
Terlebih, jika para pekerja itu aktif membayar iuran, Timboel menilai semestinya mereka berhak
mendapatkan manfaat jaminan sosial. Jika tidak, hal itu dinilai melanggar Undang-Undang (UU)
40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yakni peserta berhak mendapatkan
manfaat dan informasi atas program yang diikutinya.
"Orang diposisikan disuruh membayar iuran tapi ketika jatuh waktunya, tidak mendapatkan
manfaat. Ini persoalan ada inkonsistensi UU SJSN, UU Cipta Kerja, dengan PP 37," ujar Timboel.
Dia menilai bahwa berlakunya UU Cipta Kerja berpotensi menyebabkan membludaknya karyawan
kontrak dan pekerja dengan status Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Selain itu, sudah
menjadi rahasia umum bahwa banyak perusahaan yang mempekerjakan karyawannya dengan
status PKWT bertahun-tahun, tak kunjung dijadikan karyawan tetap.
Menurut Timboel, selama karyawan tersebut aktif membayar iuran dan pekerja memenuhi
kewajiban dalam mendaftarkan pekerjanya ke jaminan sosial, maka karyawan kontrak dan PKWT
mestinya berhak mendapatkan manfaat program JKP. Hal ini harus didorong oleh pemerintah
demi perlindungan para pekerja.
"Berlakunya UU Cipta Kerja akan menyebabkan semakin banyak outsourcing, PKWT, dan
karyawan kontrak. Saat mereka kehilangan pekerjaan itu justru harus didukung dengan JKP,
agar bisa kembali ke bursa kerja," ujar Timboel.
Praktik pemberi kerja yang menekan atau memaksa pekerjanya untuk mengundurkan diri, alih-
alih melalui pemutusan hubungan kerja atau PHK, dinilai dapat membuat pekerja tidak bisa
memperoleh manfaat. Hal tersebut menyalahi prinsip jaminan sosial.
106