Page 20 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 23 JUNI 2021
P. 20

sebagai  majikan?  Keengganan  seperti  ini  representasi  dari kuatnya bias  kelas  di  masyarakat
              ketika berurusan dengan PRT.
              Obrolan  keseharian  kita  saat  menyentuh  PRT  akan  selalu  berisi  stereotip,  pandangan
              diskriminatif,  dan  bahkan  kompromi  terhadap  diskriminasi,  eksploitasi,  kekerasan,  dan
              ketidakadilan yang mereka alami.

              Berbagai produk entertainment, dari sinetron, lagu, hingga video klipnya, stand-up comedy, film,
              dan lainnya yang ditayangkan di TV hanya konfirmasi sikap dan pandangan kita di keseharian.

              Maka, saat DPR memfreeze proses legislasi RUU ini dalam kurun waktu tak masuk akal itu, publik
              tak  menganggap  ada  persoalan.  Kita  semua  diam.  Hanya  PRT  yang  terus  alami  stereotip,
              kekerasan,  diskriminasi,  dan  eksploitasi  di  tempat  kerja  yang  dianggap  privat,  tak  tersentuh
              mata, telinga, tangan publik.

              Persoalan yang lebih kompleks terkait sejauh mana kita, dan DPR, memahami perlindungan hak-
              hak  PRT  sebagai  kepentingan  publik.  Banyak  di  antara  kita,  memandang  persoalan  PRT,
              termasuk kebutuhan akan perlindungan hak-haknya, merupakan urusan remeh-temeh.

              Persoalan publik

              Stereotip PRT sebagai warga kelas dua yang berakar pada sejarah pembantu yang diproduksi
              dan direproduksi sejak masa feodalisme dan kolonialisme Belanda (Irawaty, 2011) berpengaruh
              pada  paradigma  menganggap  persoalan  PRT  remeh-temeh  yang  tak  perlu  dikontekstualisasi
              sebagai kepentingan publik.

              Mempertimbangkan  situasi  ketidakadilan  dan  kekerasan  yang  dihadapi  PRT,  di  tempat  kerja
              ataupun  di  masyarakat,  termasuk  sebagai  warga  negara,  sudah  cukup  jadi  argumen  untuk
              mengklaim  persoalan  PRT  merupakan  persoalan  publik  di  mana  kita  punya  tanggung  jawab
              untuk ikut mengatasinya.

              Di tempat kerja jika tak mengalami berbagai bentuk kekerasan-fisik, verbal, emosional, ekonomi,
              bahkan  seksual  PRT  menjalani  pekerjaannya  tanpa  kontrak,  membuat  waktu  dan  batasan
              kerjanya tak memiliki "aturan jelas".

              Mereka bisa kerja 24 jam sehari dengan pekerjaan apa saja yang diinstruksikan majikan tanpa
              tambahan kompensasi finansial dan lainnya. Sulit menemukan PRT dengan keistimewaan hak
              kerja seperti jaminan perlindungan sosial, keamanan dan keselamatan kerja.
              Di  luar  tempat  kerja,  akses  ke  layanan  publik,  termasuk  pendidikan  dan  kesehatan,  sangat
              terbatas.  Kita  hanya  butuh  sikap  terbuka  agar  bersedia  melampaui  posisi  kelas  kita  dan
              menunjukkan empati, sebagai penegasan bahwa persoalan PRT adalah persoalan publik.

              Secara  konseptual-akademik,  paradigma  kerja  domestik  atau  kerja  rumah  tangga,  apalagi
              dilakukan perempuan, sebagai pekerjaan "informal", tak butuh keterampilan dan pengetahuan,
              bukan pekerjaan produktif, tak memiliki nilai sosial, ekonomi, dan politik, dilakukan di ranah
              privat, bahkan bukan sebuah pekerjaan atau profesi, sama sekali sangat mungkin masih menjadi
              arus utama cara berpikir kita saat menghadapi persoalan PRT. Paradigma ini berefek y, pada
              keengganan  kita  memosisikan PRT  sebagai  persoalan  publik,  persoalan yang  memiliki kaitan
              dengan kepentingan publik.

              Nyatanya, banyak studi tentang kerja dan perempuan atau pekerjaan domestik, seperti dilakukan
              Ratna Saptari (1997), telah memberikan argumen baru tentang tak berlakunya segala label bagi
              pekerjaan  domestik  ini,  bahkan  dalam  konteks  Indonesia.  Segregasi  kerja  produktif  dan
              reproduktif  dalam  realitas  sosial  tak  berjalan  linear  dan  statis.  Perubahan  sosial  menuntut


                                                           19
   15   16   17   18   19   20   21   22   23   24   25