Page 57 - E-KLIPING KETENAGAKERJAAN 30 JULI 2021
P. 57
International Labour Organization (ILO) memprediksi Hr secara global adalah industri yang
bernilai sekitar Rp 2 juta triliun. Sementara Global Slavery Index memperkirakan, di seluruh
dunia, 45,8 juta orang yang menjadi budak perdagangan orang: 79% di antaranya mengalami
eksploitasi seksual, 18% kerja paksa, dan 3% kondisi lainnya. UNICEF menyatakan, 2 juta anak
di dunia setiap tahunnya mengalami eksploitasi seksual, termasuk di Indonesia.
Sementara di Indonesia, diperkirakan 30% dari pekerja seks komersil (PSK) adalah perempuan
di bawah 18 tahun. Bahkan di antaranya ada yang masih berusia 10 tahun. Sebanyak 40.000-
70.000 anak di Indonesia adalah korban eksploitasi seksual, dan menurut UNICEF, setiap
tahunnya terdapat sekitar 100.000 anak Indonesia diperdagangkan.
Mencermati data di atas, praktik perdagangan orang di Indonesia seolah tidak teratasi. Padahal,
negara sudah melakukan banyak upaya dalam menangani kasus perdagangan orang ini.
Contohnya, dengan meratifikasi protokol Palermo, menjadi salah satu founders dari Bah Process,
memiliki hubungan multilateral dengan Australia dan Filipina serta negara lain.
Tidak hanya itu, pada 2007 Pemerintah Indonesia membuat UU Nomor 21 tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Pada 2008, terbit Peraturan Presiden
No. 69 tentang TPPO, dengan membentuk gugus tugas pemberantasan TPPO secara terstruktur,
mulai dari tingkat pusat, provinsi dan kota/kabupaten. Pertanyaan besarnya, apa yang kurang
dengan perangkat penanganan TPPO di Indonesia?
Kendala
Tanpa bermaksud mengevaluasi, salah satu temuan penelitian kami di tiga zona merah TPPO,
yakni Provinsi NTT, Jawa Barat, dan Jawa Timur, mengindikasi terdapat kendala utama
komunikasi dan koordinasi antarlembaga yang berada dalam Gugus Tugas TPPO. Ini
mengakibatkan, tidak optimalnya komunikasi pemerintah kepada publik tentang upaya
pemberantasan perdagangan manusia.
Hasil survei yang dilakukan kelompok mahasiswa KKN Unpad yang dikomandani oleh Nazhara
Azmi, Hanif Abdul Azis, dan Astari Kin-tan, kendati 84% responden menyatakan tahu dan pernah
mendengar istilah HT atau perdagangan orang, 89% menyatakan tidak tahu upaya apa saja
yang sudah dilakukan pemerintah untuk memberantas HT. Selain itu, 85% responden juga
menyatakan tidak tahu alur pelaporan TPPO, dan 95% tidak tahu adanya layanan laporan TPPO
bagi WNI yang ada di luar negeri berupa aplikasi "Safe Travel".
Fakta, pemerintah kurang melakukan sosialisasi. Terlihat dari data 86,4% responden
menyatakan tidak pernah mendapatkan sosialisasi HT dan hanya 13,6% menyatakan pernah
mendapatkan sosialisasi. Jika mencermati data survei ini, 88,6% mendapatkan informasi HT dari
media sosial dan 61% dari televisi, sebetulnya pemerintah dapat lebih menggiatkan
komunikasinya melalui dua media tersebut. Pesan utama yang dapat disosialisasikan pemerintah,
misalnya bentuk HT yang bisa berupa perdagangan seks paksa, kerja paksa, perdagangan organ
tubuh, perdagangan anak di bawah umur yang menjadikan mereka sebagai budak dengan
dipekerjakan sebagai pengemis di jalanan, menjadi tentara anak di wilayah konflik, atau dipaksa
menikah di bawah umur. Bahkan di beberapa negara, marak terjadi perdagangan bayi sebelum
mereka dilahirkan.
Hari ini, 30 Juli, ditetapkan oleh Majelis Umum PBB sebagai Hari Anti Perdagangan Manusia atau
sebagai Hari Dunia Menentang Perdagangan Orang. Dalam resolusi tersebut ditegaskan, hari
seperti itu diperlukan untuk meningkatkan kesadaran atas nasib para korban HT, serta untuk
memajukan dan melindungi hak-hak mereka.
56