Page 218 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 8 MARET 2021
P. 218
No. 34 tahun 2021 tentang Tenaga Kerja Asing, PP No. 35 tahun 2021 tentang PKWT, Alih Daya,
Waktu Kerja dan PHK, dan PP No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.
Pasca ditandatangani, pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan gencar
mensosialisasikan keempat PP ini, yang melibatkan pihak Pengawas Ketenagakerjaan dan
Mediator Hubungan Industrial. "Di sini saya mau mengaitkan peran Pengawas Ketenagakerjaan
dan Mediator Hubungan Industrial dengan persyaratan mendapatkan JKP," ujar Sekjen
Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar di Jakarta, Jumat (5/3/2021).
Pada Pasal 19 ayat (3) PP No. 37 Tahun 2021 menyebutkan manfaat JKP dapat diajukan setelah
peserta memiliki masa iuran paling sedikit 12 bulan dalam 24 bulan dan telah membayar iuran
paling singkat 6 bulan berturut-turut pada BPJS Ketenagakerjaan sebelum terjadi PHK atau
pengakhiran hubungan kerja.
Tentunya, menurut Timboel, syarat mendapatkan JKP yang dituliskan pada Pasal 19 ayat (3)
akan cukup sult dicapai oleh pekerja yang di PHK, khususnya bagi pekerja yang berselisih dengan
manajemen, dengan menempuh proses perselisihan PHK sesuai UU No. 2 Tahun 2004, yaitu dari
proses bipartite, mediasi, PHI hingga MA.
"Saya mau fokus tentang syarat telah membayar iuran paling singkat 6 bulan berturut-turut pada
BPJS Ketenagakerjaan sebelum terjadi PHK atau pengakhiran hubungan kerja. Syarat ini akan
menjadi kendala utama bagi pekerja untuk mendapatkan JKP karena proses perselisihan PHK
tersebut. Kenapa?," tuturnya.
Faktanya, ketika masih dalam proses perselisihan PHK, pihak pengusaha sering kali tidak
membayar upah pekerja lagi sehingga iuran jaminan sosial Kesehatan (JKN) dan
ketenagakerjaan (JKK, JKm, JHT, JP dan JKP) menjadi tertunggak. Bila iuran jaminan sosial ini
tertunggak maka mengacu pada Pasal 19 ayat (3) yaitu syarat telah membayar iuran paling
singkat 6 bulan berturut-turut pada BPJS Ketenagakerjaan sebelum terjadi PHK, dipastikan
pekerja tidak mendapatkan JKP. "Kelakuan pengusaha yang tidak membayar upah proses ketika
sedang terjadi perselisihan terjadi karena lemahnya pengawasan ketenagakerjaan," tambahnya.
Sehingga, amanat Pasal 157A UU Cipta Kerja (sebelumnya di Pasal 155 ayat (2) UU
Ketenagakerjaan) yang memerintahkan pengusaha harus tetap membayarkan upah pekerja
sebelum adanya putusan PHK yang berkekuatan hukum tetap, tidak bisa berjalan sebagaimana
mestinya. "Pasal 157A adalah kepastian bagi pekerja untuk tetap mendapat upah dan terlindungi
dalam jaminan sosial," tandas Timboel.
(nng).
217