Page 138 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 15 FEBRUARI 2021
P. 138
menegaskan penolakan karena masih saja ada yang tidak sesuai dan tidak berkenan dari aspek
aturan ketenagakerjaan yang layak,” ujarnya kepada Tempo, kemarin. Menteri Ketenagakerjaan
Ida Fauziah menyanggah adanya dampak negatif Undang-Undang Cipta Kerja terhadap
kesejahteraan buruh dan pekerja. Menurut Ida, aturan tersebut justru diyakini bakal mereformasi
regulasi ketenagakerjaan saat ini serta mampu menciptakan 2,7-3 juta lapangan kerja setiap
tahun. “Di dalamnya terdapat urgensi penyederhanaan, sinkronisasi, dan pemangkasan regulasi
yang menghambat penciptaan lapangan kerja,” ujarnya.
BERUJUNG PENOLAKAN SERIKAT PEKERJA
Undang-Undang Cipta Kerja tak kunjung mendapat dukungan dari organisasi buruh dan pekerja.
Suara penolakan terus menggema, meski undang-undang telah disahkan dan draf rancangan
peraturan pemerintah (RPP) telah diterbitkan. Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia
(Aspek), Mirah Sumirat, mengatakan sikap pemerintah yang ngotot menerbitkan RPP tanpa
merespons aspirasi buruh dan pekerja hanya menambah panjang kekecewaan.
“Memang ketika isi undang-undang buruk, tidak mungkin peraturan pemerintah menjadi baik.
Kami sudah menegaskan penolakan karena masih saja ada yang tidak sesuai dan tidak berkenan
dari aspek aturan ketenagakerjaan yang layak,” ujarnya kepada Tempo, kemarin.
Adapun tiga draf yang telah dirilis itu adalah RPP tentang Penyelenggaraan Program Jaminan
Kehilangan Pekerjaan; RPP tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan
Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja; serta RPP tentang Penggunaan Tenaga Kerja
Asing. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo sudah mengesahkan UU Cipta Kerja pada 2 November
2020. Sesuai dengan ketentuan dalam UU ini, aturan turunan harus selesai dalam tiga bulan
setelah UU Cipta Kerja berlaku.
Mirah menjelaskan, poin-poin keberatan asosiasi masih sama. Pertama, penolakan program
Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Kedua, aturan pemberian hak pesangon ketika terjadi
pemutusan hubungan kerja (PHK). Ketiga, aturan perlakuan perjanjian kerja waktu tertentu
(PKWT). Keempat, kelonggaran aturan penggunaan tenaga kerja asing. “Semua itu membuka
celah penyelewengan yang dapat dimanfaatkan oknum-oknum pengusaha nakal, yang kemudian
dapat merugikan pekerja,” ucapnya.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, berujar bahwa kalangan
serikat buruh dan pekerja pun tidak pernah serta tidak akan terlibat dalam pembahasan aturan
turunan UU Cipta Kerja. “Tidak mungkin buruh yang menolak kemudian secara bersamaan juga
terlibat dalam pembahasan RPP,” katanya.
Said menambahkan, organisasi buruh dan pekerja juga tidak menyetujui pembahasan aturan
turunan tersebut karena proses gugatan uji materi atau judicial review sedang berjalan di
Mahkamah Konstitusi. Bila gugatan dikabulkan, pembahasan aturan turunan menjadi sia-sia.
Poin-poin dalam RPP yang disiapkan Kementerian Ketenagakerjaan itu justru dinilai melanggar
norma-norma hukum dan tujuan dibentuknya UU Cipta Kerja. Maka, KSPI meminta pemerintah
menghentikan pembahasan RPP atau asosiasi akan terus melanjutkan aksi penolakan hingga
aspirasi yang disampaikan diakomodasi dalam perbaikan aturan tersebut.
“Kami meminta pemerintah tidak membuat kebijakan yang blunder dan justru merugikan buruh
dan pekerja di Indonesia,” ujar Said. Organisasi buruh, kata dia, akan tetap melanjutkan aksi
lapangan dan virtual untuk meminta Mahkamah Konstitusi mencabut atau membatalkan UU Cipta
Kerja, khususnya kluster ketenagakerjaan
137

