Page 220 - E-KLIPING KETENAGAKERJAAN 4 OKTOBER 2021
P. 220

Buruh khawatir perubahan sistem pengupahan itu akan membuat standar upah menjadi lebih
              murah. Kurang dari dua bulan lagi, kekhawatiran itu akan diuji dan kemungkinan besar dapat
              terbukti.

              Seperti kata Wakil Ketua Dewan Pengupahan Nasional dari unsur pengusaha, Adi Mahfudz, upah
              minimum provinsi (UMP) 2022 bisa naik, bisa juga turun. Namun, ia mengakui, laju kenaikannya
              tidak  akan  setinggi  tahun-tahun  sebelumnya  ketika  penetapan  upah  minimum  masih  bisa
              dinegosiasikan dan mengacu pada pertumbuhan ekonomi dan inflasi (Kompas, 24/9/2021).

              Sebagai  simulasi  kasar,  ambil  contoh  DKI  Jakarta  sebagai  provinsi  dengan  upah  minimum
              provinsi tertinggi. Mengacu pada rumus baru, UMP Jakarta 2021 naik dari Rp 4,27 juta menjadi
              Rp 4,36 juta. Sementara itu, jika memakai rumus lama, UMP Jakarta 2021 naik lebih tinggi, yakni
              Rp 4,66 juta.

              Contoh lain, DI Yogyakarta yang memiliki upah minimum terendah. Dengan memakai rumus
              lama, UMP DIY 2020 seharusnya naik dari Rp 1,57 juta menjadi Rp 1,71 juta. Namun, dengan
              rumus baru, kenaikan UMP DIY 2020 menjadi Rp 1,67 juta. Tentu ini masih simulasi kasar karena
              data riil teranyar dari BPS belum dirilis.

              Sistem baru ini memang sedikit mengurangi kesenjangan upah minimum antarprovinsi. Namun,
              alih-alih mendorong kualitas upah minimum yang layak secara merata, sistem ini mengerem dan
              mengorbankan laju kenaikan upah minimum di daerah lain.

              Kepatuhan rendah Laporan Global Wage Report 2020/2021, "Wages and Minimum Wages in the
              Time of Covid-19", oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO) mencatat, di tengah krisis ekonomi
              akibat pandemi, upah minimum layak berperan penting untuk menahan masyarakat jatuh ke
              jurang kemiskinan.

              Hakikat  dasar  upah  minimum  adalah  sebagai  perlindungan  atau  instrumen  jaring  pengaman
              (safety net) agar pekerja tidak dibayar semena-mena. Upah minimum juga seharusnya hanya
              berlaku untuk pekerja lajang yang baru masuk ke dunia kerja.

              Itulah  mengapa  undang-undang  mengharuskan  upah  minimum  dibayarkan  kepada  pekerja
              dengan masa kerja kurang dari satu tahun. Di atas itu, harus lebih tinggi dengan mengacu pada
              struktur dan skala upah sepatutnya, sesuai masa kerja, jabatan, produktivitas, dan kompetensi
              pekerja.

              Namun,  nyatanya,  tingkat  kepatuhan  (compliance)  pengusaha  untuk  membayar  pekerjanya
              sesuai upah minimum masih terhitung rendah. Bahkan, masih banyak pekerja yang dibayar di
              bawah standar.

              Data Survei Angkatan Kerja Nasional Februari 2021, sebanyak 49,67 persen pekerja masih digaji
              di bawah upah minimum. Hampir setengah dari total pekerja di Indonesia dibayar di bawah
              standar.
              Hasil olahan data Sakernas Februari 2021 menunjukkan, dari total 34 provinsi, masih ada 11
              provinsi  yang  rata-rata  upah  riil  bersihnya  di  bawah  standar  upah  minimum  yang  berlaku.
              Misalnya, standar upah minimum Aceh pada 2021 adalah Rp 3.165.030, tetapi rata-rata upah
              bersihnya  Rp  2.317.419.  Kepatuhan  juga  rendah  di  Sumatera  Selatan,  yakni  dengan  upah
              minimum Rp 3.043.111 dan rata-rata upah bersih Rp 2.348.034.

              Pandemi seharusnya tidak menjadi alasan karena ketidakpatuhan menjalankan upah minimum
              tidak hanya terjadi saat ini. Dalam empat tahun terakhir, kepatuhan pengusaha menggaji buruh
              sesuai standar minimum selalu ada di kisaran 49-57 persen.



                                                           219
   215   216   217   218   219   220   221   222   223   224   225