Page 239 - E-KLIPING KETENAGAKERJAAN 4 OKTOBER 2021
P. 239

Sistem baru memang sedikit mengurangi kesenjangan upah minimum antarprovinsi. Namun,
              alih-alih mendorong kualitas upah minimum yang layak secara merata, sistem ini mengerem dan
              mengorbankan laju kenaikan upah minimum di daerah lain.

              Kepatuhan rendah

              Dalam laporan Global Wage Report 2020/2021: " Wages and Minimum Wages in the Time of
              Covid-19" oleh Organisasi Buruh Internasional (1LO) dicatat, di tengah krisis ekonomi akibat
              pandemi, upah minimum layak berperan penting untuk menahan masyarakat jatuh ke jurang
              kemiskinan.

              Hakikat  dasar  upah  minimum  adalah  sebagai  perlindungan  atau  instrumen  jaring  pengaman
              (safety net) agar pekerja tidak dibayar semena-mena. Upah minimum juga seharusnya hanya
              berlaku untuk pekerja lajang yang baru masuk ke dunia kerja.

              Itulah mengapa undang-undang mengharuskan upah minimum dibayarkan ke pekerja dengan
              masa ketja kurang dari satu tahun. Di atas itu, upah harus lebih tinggi dengan mengacu pada
              struktur dan skala upah sepatutnya, sesuai masa kerja, jabatan, produktivitas, dan kompetensi
              pekerja.  Namun,  nyatanya,  tingkat  kepatuhan  icompliance)  pengusaha  untuk  membayar
              pekerjanya sesuai upah minimum masih terhitung rendah. Data Survei Angkatan Kerja Nasional
              (Sakernas) Februari 2021, ada 49,67 persen pekerja digaji di bawah standar upah minimum
              Hasil olahan data Sakernas pada Februari 2021 menunjukkan, dari total 34 provinsi, ada 11
              provinsi  yang  rata-rata  upah  riil  bersihnya  di  bawah  standar  upah  minimum  yang  berlaku.
              Misalnya, standar upah minimum di Aceh pada 2021 adalah Rp 3.165.030, tetapi rata-rata upah
              bersihnya  Rp  2.317.419.  Kepatuhan  juga  rendah  di  Sumatera  Selatan,  yakni  dengan  upah
              minimum Rp 3.043.111, tetapi rata-rata upah bersihnya Rp 2.348.034.

              Pandemi seharusnya bukan alasan karena ketidakpatuhan menjalankan upah minimum tidak
              hanya  terjadi  saat  ini.  Empat  tahun  terakhir,  kepatuhan  pengusaha  menggaji  buruh  sesuai
              standar minimum selalu di kisaran 49-57 persen. Kondisi ini seharusnya dapat dihindari dengan
              mewajibkan perusahaan mengupah sesuai struktur dan skala upah. UU Cipta Kerja mengatur,
              pengusaha yang menggaji di bawah upah minimum dikenai sanksi pidana penjara 1-4 tahun dan
              atau denda minimal Rp 100 juta dan maksimal Rp 400 juta. Namun, aturan ini hanya garang di
              atas kertas.

              Sumber  masalah  berbagai  konflik  ketenagakerjaan  adalah  lemahnya  pengawasan  dan
              penegakan sanksi. Kementerian Ketenagakerjaan berulang kali mengeluhkan minimnya jumlah
              pengawas ketenagakerjaan. Idealnya diperlukan 6.000 pengawas di seluruh kabupaten/kota.
              Nyatanya, jumlahnya saat ini hanya 1.586 orang dan terpusat di Jakarta.

              Di sisi lain, masih banyak pekerja yang tidak berserikat sehingga posisi tawarnya lemah untuk
              memperjuangkan hak. Ada pula yang tidak tahu bahwa dirinya berhak dan wajib dibayar sesuai
              UMP sehingga banyak kasus pelanggaran tidak diketahui dan berujung data statistik di BPS.

              Padahal, upah minimum dapat menjadi instrumen efektif mencegah kemiskinan. Simulasi dalam
              Global  Wage  Report  2020-2021,  jika  pengusaha  patuh  menjalankan  upah  minimum  dan
              diterapkan  merata  ke  seluruh  kelompok  pekerja,  tingkat  kemiskinan  dan  kesenjangan  dapat
              berkurang signifikan. Apalagi, jika diterapkan sesuai struktur dan skala upah.

              Perdebatan  perlu  tidaknya  menaikkan  upah  minimum  sedang  menjadi  polemik  global.
              Pandangan  tradisional  menilai,  kenaikan  upah  dapat  membebani  pelaku  usaha,  menggerus
              lapangan kerja, dan mendorong pengangguran. Konsumen juga bisa rugi karena biaya ekstra
              untuk upah dikompensasikan ke harga barang/jasa yang dihasilkan.


                                                           238
   234   235   236   237   238   239   240   241   242   243   244