Page 427 - E-KLIPING KETENAGAKERJAAN 4 OKTOBER 2021
P. 427
Keputusan Menteri Ketenagakerjaan (Kepmenaker) Nomor 260 Tahun 2015 tentang Penghentian
dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia pada Pengguna Perseorangan di Negara
Kawasan Timur Tengah.
KBRI Doha ikut bersuara soal pelanggaran pengiriman pekerja penata laksana rumah tangga
(PLRT) ini. Lewat pengumuman resmi di Facebook, perwakilan RI tersebut menegaskan kembali
soal Kepmenaker Nomor 260/2015. "Kebijakan tersebut hingga hari ini masih berlaku dan belum
pernah dicabut," demikian bunyi pernyataan tersebut Kedubes lantas meminta seluruh pihak
untuk tidak tergiur dengan janji dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, yang dapat
berujung pada tindak penipuan atau hal-hal lain yang bertentangan dengan hukum.
Bermula pada 2011, Indonesia memberlakukan moratorium PMI sektor domestik ke empat
negara di Timur Tengah. Pada 2015, pelarangan pengiriman itu diperluas hingga ke 19 negara:
Arab Saudi, Aljazair, Bahrain, Irak, Kuwait, Lebanon, Libya, Maroko, Mauritania, Mesir, Oman,
Palestina, Qatar, Sudan, Suriah, Tunisia, Uni Emirat Arab, Yaman, dan Yordania.
Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), Benny Rhamdani menjelaskan
bahwa pada 2018, Indonesia menandatangani technical agreemmt dengan Arab Saudi melalui
sistem penempatan satu kanal (SPSK). "Saat itu, SPSK ini dianggap menjadi exitstrategy,"
ujarnya.
Dengan kata lain, SPSK menjadi solusi agar penempatan sektor domestik, yang selama ini melalui
perorangan, beralih menjadi penempatan melalui badan hukum agar perlindungannya bisa lebih
memberikan jaminan. Namun sayangnya, sudah tiga tahun berlalu, SPSK hingga hari ini masih
belum berjalan.
Benny menegaskan bahwa ada atau tidak ada moratorium maupun SPSK, penempatan ilegal
tetap terjadi di lapangan.
"Karena ini adalah bisnis kotor yang dikendalikan oleh para sin di kat. Sialnya, bisnis kotor ini
yang di kendalikan segelintir orang, dibekingi oleh pihak-pihak yang hari ini memiliki atri butif
kekuasaan. Ada oknum TNI, oknum Polri, oknum dari Keimigrasian, oknum dari Kedutaan Besar,
oknum dari Kemnaker, dan saya yakin juga ada oknum-oknum di BP2MI ini," kritik pria kelahiran
Bandung tersebut.
Data dari Kementerian Luar Negeri (Kemlu) menyebutkan bahwa 93% warga Indonesia di luar
negeri adalah PMI. Sisanya merupakan pelajar, independen, mereka yang menikah dengan
warga negara asing, dan sebagainya.
Sayangnya, bicara soal jumlah detail PMI, kementerian dan lembaga (K/L) masih belum sepakat.
Kemlu meng klaim ada 4,5 juta orang PMI, Kemnaker menyebut terdapat 5 juta PMI, sementara
database BP2MI mencatat 4,3 juta PMI. Jauh dari jumlah tersebut, pada 2017, Bank Dunia
(World Bank) merilis laporan yang menulis bahwa jumlah PMI mencapai 9 juta orang. "Jadi bisa
kita lihat bahwa ada disparitas cukup tinggi," ujar Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum
In donesia Kemlu, Judha Nugraha.
Mengacu kepada UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23
Ta hun 2006 tentang Administrasi Ke pendudukan, setiap WNI yang tinggal menetap di luar
negeri di atas satu tahun wajib melakukan lapor diri ke Perwakilan RI yang terdekat. Indonesia
saat ini memiliki 128 perwakilan yang memi liki fungsi kekonsuleran.
Lebih jauh lagi, dalam UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Ke warganegaraan disebutkan bahwa
seseorang yang menetap di luar negeri dan selama lima tahun berturut-turut tapi ti dak melapor
keberadaannya, maka dia dapat kehilangan kewarganegaraan. "Namun memang dari sisi
426