Page 432 - E-KLIPING KETENAGAKERJAAN 4 OKTOBER 2021
P. 432
Direktur Utama BPJS Ketenaga kerjaan, Anggoro Eko Cahyo, menjelaskan banyak tenaga kerja
bekerja dari rumah (work from home), sehingga risiko kecelakaan kerja makin kecil, bahkan
sebagian ada yang dirumahkan atau bahkan ter-PHK karena perusahaanya terdampak pandemi
Covid-19.
Apa saja bentuk kecelakaan yang bisa dibayari BPJS Ketenagakerjaan? Anggoro mengatakan
Permenaker Nomor 5/2021 mengatur bahwa semua risiko yang terjadi sejak pekerja keluar dari
rumahnya untuk bekerja, selama dalam perjalanan pergi atau pulang kerja, berdinas di luar
tempat kerja, terjadi risiko saat melakukan hal-hal adanya unsur perintah atasan, maka termasuk
da lam perlindungan yang dibiayai BPJS Ketenagakerjaan.
Anggoro menjelaskan saat ini coverage kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan sebesar 53,12% dari
target 2021 yang ditetapkan oleh pemerintah. Hingga 31 Agustus 2021, jumlah pekerja yang
terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan adalah sebanyak 49,9 juta orang.
Rinciannya, 40,4 juta dari pekerja penerima upah atau pekerja sek tor formal, lalu 3,3 juta
pekerja sektor informal, pekerja mirgan 273.000, pekerja jasa konstruksi 6,3 juta.
"Semua pekerja, baik formal maupun informal, sama-sama mempunyai risiko. Bagi pekerja
informal yang sudah menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan tentunya akan mendapatkan
perlindungan dan manfaat yang sama dari program Jaminan Kecelakaan Kerja," ujarnya.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar, menyebut
sudah banyak regulasi yang mengatur keselamatan kerja, misalnya UU Nomor 1 Tahun 1970
tentang Keselamatan Kerja.
Persoalannya, masih banyak perusahaan menganggap fasilitas keselamatan bagi pekerjanya
merupakan beban biaya. Akibatnya, banyak pemberi kerja yang abai norma K3.
Ada juga UU Nomor 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasioal yang mengatur setiap
pekerja wajib didaftarkan ke BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan untuk mendapat
perlindungan sosial.
Sayangnya, masih banyak perusahaan yang menganggap pemberian jaminan terhadap
pekerjanya sebagai beban atau mengurangi keuntungan.
Selain pemberi kerja tidak patuh standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), Timboel menilai
pengawasan oleh pemerintah pun lemah.
Kombinasi yang buruk ini pada akhirnya merugikan pemerintah sendiri. Harus ada evaluasi dan
pengawasan terkait pelaksanaan K3 di tempat kerja.
"Kalau K3 jelek, potensi terjadi kecelakaan tinggi, tentu BPJS Ketenagakerjaan bakal bayar klaim
terus," ujar Timboel.
OPSI juga menyoroti sulitnya mengklaim biaya kecelakaan kerja.
Timboel mencontohkan kasus pe kerja meninggal dunia yang di golongkan sebagai kematian,
bukan kecelakaan kerja.
Padahal begitu dicek kronologisnya, pekerja tersebut meninggal karena bekerja. Akibatnya,
pihak keluarga tidak mendapat hak yang sesuai regulasi.
"Kematian akibat kecelakaan kerja dibayar 48 kali upah, sementara meninggal bukan kecelakaan
kerja hanya diberi Rp42 juta. Ada persoalan bagaimana mendefinisikan kecelakaan kerja atau
sakit biasa," ungkapnya.
431