Page 27 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 24 JUNI 2021
P. 27
setahun dari Agustus 2019-Agustus 2020. Mayoritas angkatan kerja yang menganggur adalah
masyarakat berpendidikan menengah dan tinggi.
Per Februari 2021, penduduk yang bekerja didominasi lulusan SD ke bawah (37,41 persen),
umumnya terserap di sektor informal atau kerja serabutan. Hanya 12,9 persen pekerja yang
merupakan lulusan diploma dan universitas, 12,3 persen lulusan SM K, dan 18,8 persen lulusan
SMA yang terserap di dunia kerja.
Dari paradigma pasar kerja, dua hal bisa disimpulkan. Dari sisi permintaan (demand), ada
ketidakselarasan (mismatch) antara kapasitas angkatan kerja berpendidikan dan kebutuhan
industri. Gelar diploma atau sarjana bukan lagi jaminan karena tidak bisa mengikuti dinamika
industri yang tinggi.
Sementara, dari sisi penawaran (supply), ada keterbatasan lapangan kerja berkualitas bagi
masyarakat yang berpendidikan mene-ngah-tinggi. Berbeda dengan masyarakat lain yang
mudah terserap ke sektor informal, kelas menengah umumnya memiliki ekspektasi yang lebih
tinggi dalam mencari pekerjaan. Hal ini menunjukkan problem pengangguran kelas menengah
tidak melulu karena rendahnya keterampilan angkatan kerja, tetapi juga akibat minimnya
lapangan kerja yang pantas.
Lampu kuning
Krisis pekerjaan yang layak juga tidak bisa dipisahkan dari struktur angkatan kerja yang
didominasi pekerja informal. BPS mencatat, per Februari 2021, pekerja informal mencakup 59,62
persen dari total angkatan kerja. Hanya 40,38 persen angkatan kerja yang bekerja di sektor
formal. Sebagai perbandingan, setahun sebelumnya, komposisi pekerja informal masih 56,64
persen dan pekerja formal 43,46 persen.
Dominasi pekerja informal ini menjadi lampu kuning. Sebab, dibandingkan pekerja formal,
pekerja informal umumnya tidak digaji sesuai standar upah minimum, tidak terdaftar pada
program jaminan sosial ketenagakerjaan, dan tidak memiliki kepastian kerja. Untuk naik kelas
menjadi negara berpendapatan tinggi, pemerintah perlu membenahi kebijakan untuk
menciptakan pekerjaan yang layak.
Laporan Bank Dunia menyebut, Un-dang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
sebagai solusi jalan tengah. Dari sisi penciptaan lapangan kerja, UU Cipta Kerja memang ampuh
untuk menarik investasi lantaran banyaknya kemudahan dan kelancaran yang diberikan ke dunia
usaha.
Namun, lapangan kerja yang banyak belum tentu layak. Demi kemudahan berinvestasi, sejumlah
ketentuan ketenagakerjaan di UU Cipta Kerja justru menjauh dari prinsip kerja pantas, seperti
kebijakan upah murah, berkurangnya komponen pesangon, serta program Jaminan Kehilangan
Pekerjaan yang kurang inklusif dan justru mempersulit korban pemutusan hubungan kerja (PHK).
Tanpa pekerjaan yang layak, dampak jangka panjang pandemi akan menghantui dalam bentuk
tingginya ketimpangan, hilangnya potensi SDM, dan terhambatnya pertumbuhan kelas
menengah.
(AGNES THEODORA)
26