Page 63 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 9 SEPTEMBER 2020
P. 63
Sebab, jika omnibus law itu hanya menjanjikan perizinan satu pintu, keringanan pajak, atau
kemudahan pembebasan lahan, jelas tidak cukup menjawab persoalan untuk mengerek investasi
yang dibutuhkan. Apalagi, praktis sebelum Indonesia resmi mengakui ditemukan infeksi Covid-
19 pertama kali di Tanah Air awal Maret lalu, izin usaha satu pintu sudah diberlakukan, dengan
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) resmi menjadi satu-satunya lembaga yang
berwenang memberikan izin usaha, berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) No 7/2019 tentang
Percepatan Kemudahan Berusaha. Lewat Inpres tersebut, 25 kementerian/lembaga harus
melimpahkan kewenangan pemberian izin ke BKPM.
Dalam masalah pajak pun, Indonesia sudah memberi berbagai insentif pajak sebelumnya.
Bahkan, sejak dihantam krisis pandemi Covid-19, pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi)
juga telah menurunkan tarif pajak penghasilan badan lewat Perppu yang kini sudah disepakati
DPR jadi UU.
Namun, ganjalan soal regulasi ketenagakerja an yang belum probis-nis masih belum
diselesaikan. UU Ketenagakerjaan kita selama ini tak probisnis. Padahal, UU yang probisnis
sangat dibutuhkan untuk penguatan bisnis di Tanah Air. Agar perusahaan maju, maka dua
elemen utama yakni pemberi kerja maupun pekerja harus sama-sama dilindungi.
Sebaliknya, jika pengusaha hanya diberi kemudahan untuk masuk namun susah untuk keluar
dengan berbagai aturan ketenagakerjaan yang memberatkan, tentu saja kontraproduktif dalam
menarik investasi maupun penciptaan lapangan kerja . Bila pengusaha diperlakukan tidak enak
seperti tetap harus membayar pesangon terhadap karyawan yang sudah berbuat kriminal dan
berhenti kerja, pemberi kerja ini jelas lebih suka pergi ke negara lain yang lebih probisnis.
Dalam UU Ketenagakerjaan kita, pekerja yang di-PHK karena melakukan pelanggaran tata tertib
tetap memperoleh kompensasi berupa pesangon satu kali ketentuan. Dalam PHK karena
perusahaan tutup akibat merugi pun, pekerja juga mendapat pesangon satu kali ketentuan.
Sedangkan untuk perusahaan yang tutup bukan karena merugi, pekerja mendapat pesangon
sebesar dua kali ketentuan. Padahal, di tengah makin besarnya ketidakpastian dunia saat ini,
ancaman kerugian ataupun penutupan perusahaan ser-ingkali tidak bisa dihindari. Perusahaan
yang sudah merugi itu tentunya tidak adil bila harus dibebani lagi, ibarat sudah jatuh tertimpa
tangga berkali-kali.
Maka itu, UU Cipta Kerja harus mampu mencip-takan terobosan win-win solution bagi pemberi
kerja maupun pekerja. Omnibus law ini harus menyelesaikan tumpang tindih regulasi yang tidak
probisnis, menghapus ketentuan yang tidak ramah bisnis.
Pengusaha juga harus mendapat jaminan dan kemudahan berbisnis yang adil dan nyaman, dia
gampang membuka usaha tapi juga bisa gampang menutupnya. Jika orang hanya digampangkan
masuk investasi tapi nggak bisa keluar, tentu investasi ini tak menarik. Ini ibaratnya orang
disuruh investasi beli saham, tentu lebih memilih yang gampang dijual lagi sahamnya termasuk
untuk cut loss, ketimbang yang nggak bisa dijual lagi.
Dengan dibuatnya UU Cipta Kerja yang mampu menyelesaikan berbagai masalah yang
mengganjal investasi, kita optimistis investasi bisa segera masuk lagi dan menggerakkan kembali
ekonomi nasional. Pekerja dipekerjakan kembali, produksi meningkat, daya beli naik, dan
otomatis kita segera keluar dari lubang resesi.
Investasi pun dipastikan melesat tahun depan jika UU Ciptaker yang komprehensif tersebut bisa
dirampungkan lebih cepat pada bulan ini, yang sekaligus dibarengi perampungan peraturan
pemerintah (PP) hingga surat edaran dirjen agar langsung bisa dijalankan di lapangan. Kenaikan
investasi dipastikan lebih tinggi dari target awal omnibus law saat ini dengan pertumbuhan
investasi 2-3% di atas normal. Omnibus Law ini harus menyelesaikan tumpang tindih regulasi
yang tidak probisnis, menghapus ketentuan yang tidak ramah bisnis.
62