Page 223 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 20 NOVEMBER 2020
P. 223
menyepakati Undang-Undang Cipta Kerja yang dianggap sebagai senjata pamungkas dalam
mengatasi persoalan tenaga kerja.
Jika menilik kembali Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019,
kita akan menemukan bagaimana rezim Jokowi sejak awal berkuasa sudah keblinger
menetapkan kebijakan strategis dalam menghadapi bonus demografi. Kita juga bisa melihat
asumsi fleksibilitas pasar tenaga kerja yang diagung-agungkan, justru hanya berguna secara
teoretis.
Semangat Fleksibilitas dalam RPJMN 2015-2019 Dalam buku I RPJMN 2015-2019 tentang agenda
pembangunan nasional, pemerintahan Jokowi menetapkan bonus demografi sebagai bagian dari
lingkungan strategis yang harus dipertimbangkan dalam merumuskan kebijakan.
Badan Pusat Statistik (BPS), dalam laporan Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035, menyebut
bonus demografi akan dimulai pada 2020 dan mencapai titik rendahnya pada 2028 sampai 2030,
ketika 100 penduduk usia produktif akan menanggung sekitar 46-47 penduduk usia non
produktif.
Sementara hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015-2045 menunjukkan rasio
ketergantungan pada 2020 sebesar 45,4 dan mencapai titik terendahnya pada tahun 2029
dengan rasio ketergantungan sebesar 46,7.
Pemerintahan Jokowi menyambut fase bonus demografi ini dengan menetapkan beberapa
kebijakan strategis dalam bidang pembangunan ekonomi dan tenaga kerja. Di antaranya
meningkatkan fleksibilitas pasar tenaga kerja dan memperluas lapangan kerja. Namun kebijakan
ini banyak ditentang karena dianggap merugikan para pekerja.
Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, misalnya, menjadi salah satu
kebijakan yang paling diprotes keras oleh para pekerja. Demontrasi besar-besaran pun terjadi
setelah disahkannya regulasi ini.
Para pekerja menilai regulasi ini merupakan salah satu bentuk politik upah murah yang
memperkecil daya tawar mereka, meskipun tetap mempertimbangkan rekomendasi dari dewan
pengupahan. Namun, adanya formula penghitungan upah minimum yang ditetapkan
berdasarkan tingkat inflasi membuat kenaikan upah akan sangat kecil. Sehingga regulasi ini
dianggap hanya menguntungkan perusahaan.
Jika melihat kembali RPJMN 2015-2019, pengesahan peraturan pemerintah ini tentunya tidak
mengherankan mengingat asumsi pemerintah bahwa pasar tenaga kerja yang fleksibel akan
menggenjot investasi serta memperbaiki peringkat Indonesia dalam laporan daya saing global (
The Global Competitiveness Report ) yang diterbitkan setiap tahun oleh World Economic Forum
(WEF).
Salah satu indikator yang diperhitungkan dalam laporan ini adalah seberapa fleksibel penentuan
upah. Artinya, penentuan upah harus disesuaikan dengan kondisi perekonomian. Jika ada
regulasi yang mengekang perubahan upah, maka itu akan mempengaruhi penilaian dalam
laporan tersebut.
"Bonus Demografi Berpotensi Memunculkan Konflik Sosial" Dihantam Regulasi Iyanatul Islam
dalam jurnal Beyond Labour Market Flexibility: Issues and Options for Post-Crisis Indonesia,
222