Page 218 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 27 AGUSTUS 2020
P. 218
Sebelumnya, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Satya Arinanto menyatakan
pembuatan regulasi dengan teknik sapu jagat ala omnibus law pada RUU Cipta Kerja bukan
sesuatu yang baru di Indonesia.
Hal itu diketahui lewat sejarah perundang-undangan di era Hindia-Belanda sampai 1949 yang
mencapai sekitar 7 ribu peraturan.
Sementara, daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang disusun BPHN sejak 1990 sampai
1992 terdapat kurang lebih 400 peraturan perundang-undangan Hindia Belanda.
"Pertanyaannya, dari 7 ribu jadi 400 itu melalui metode apa? Apakah satu peraturan kolonial
diganti satu peraturan nasional? Ini yang saya maksud waktu itu juga dipergunakan sistem
omnibus," tuturnya.
"Walaupun dalam penelitian atau khazanah hukum kita istilah omnibus belum dipergunakan, tapi
metodenya digunakan. Jadi ini bukan hal yang baru," kata Satya.
Foto: CNN Indonesia/Timothy Loen Meski begitu, Koalisis Masyarakat Sipil menyoroti cara
penyusunan RUU Ciptaker lewat omnibus law ini yang berpotensi melanggar prosedur
perundangan dan HAM.
Misalnya, koalisi menyoroti tindakan pemerintah yang menutup akses publik terhadap draf RUU
saat proses perumusan dan menduga hanya segelintir elite yang mendapat akses. Padahal, salah
satu syarat perumusan perundangan ialah keterbukaan.
Selain minim keterbukaan, pembahasan juga dilakukan secara kilat. Hal ini dikhawatirkan akan
menghilangkan kompleksitas masalah. Padahal, RUU Cipta Kerja disebut akan merombak 1.239
pasal di 79 undang-undang terpisah.
"Dengan pendekatan kejar tayang dan serba terburu-buru sebagaimana diperlihatkan DPR dan
Presiden, bukan tidak mungkin RUU Cipta Kerja bila diundangkan menjadi sejarah sebagai UU
yang efektivitasnya gagal," ujar Asfinawati, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
(YLBHI), salah satu elemen Masyarakat Sipil, dalam keterangan tertulis, Rabu (4/3).
(psp/arh).
217