Page 48 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 26 OKTOBER 2020
P. 48
PROSES LEGISLASI GAGAL LIBATKAN PUBLIK
Belakangan, Istana mengumumkan ada perubahan lagi dalam Undang-Undang Cipta Kerja
karena kesalahan ketik.
Tahun pertama periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo dipenuhi dengan gelombang
demonstrasi menolak pengesahan sejumlah undang-undang. Dari revisi Undang-Undang Komisi
Pemberantasan Korupsi hingga yang terakhir omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja. Tak
hanya di Jakarta, kalangan mahasiswa dan buruh menggelar aksi di berbagai penjuru negeri
berkali-kali.
Aksi demi aksi yang dilakukan karena pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dianggap tak
menggubris masukan publik. Masyarakat menilai, dalam pembuatan undang-undang itu,
pemerintah hanya mengacu pada kepentingan segelintir kelompok. Dalam Undang-Undang Cipta
Kerja misalnya, pemerintah terang-terangan menyebutkan bahwa aturan ini akan
menguntungkan pengusaha. Sebaliknya, kelompok buruh merasa tertindas lantaran sejumlah
hak yang sudah diatur dalam undang-undang sebelumnya dipangkas dalam aturan baru ini.
Selama pembahasan, pemerintah dan DPR terlihat sangat tertutup dan tergesa-gesa.
Indikasinya, hanya segelintir kelompok yang diundang oleh DPR untuk memberikan pendapat.
Rapat paripurna pengesahan omnibus law UU Cipta Kerja yang dijadwalkan pada 8 Oktober
mendadak dimajukan menjadi 5 Oktober begitu para buruh menyampaikan rencana unjuk rasa
selama tiga hari pada 6-8 Oktober lalu.
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno menuturkan keterlibatan publik dalam
pembahasan Undang-Undang Cipta Kerja sangat minim. Jarang sekali tokoh-tokoh, aktivis, dan
civil society yang diundang untuk memberikan masukan.
Padahal, kata dia, masukan dari pegiat di lapangan, seperti aktivis lingkungan hidup, sangat
penting karena undang-undang tersebut berpotensi merusak lingkungan. "Mungkin saja ada
kelompok-kelompok tertentu yang diundang ke DPR untuk turut serta dalam pembahasan ini,
tapi tidak terekspos ke publik," kata Adi kepada Tempo, kemarin. "Terutama pihak-pihak yang
selama ini keras dan protes secara lantang terhadap undang-undang ini."
Selain tak mengundang kalangan yang protes, pemerintah dan DPR dianggap tak terbuka
mengenai draf Undang-Undang Cipta Kerja. Sejak disahkan pada 5 Oktober lalu, beredar
beberapa versi draf dengan substansi yang berbeda.
Berdasarkan penelusuran Tempo, draf yang disahkan pada 5 Oktober memuat 905 halaman.
Setelah itu, muncul draf tertanggal 9 Oktober dengan 1.052 halaman, lalu draf berjudul “Dikirim
ke Presiden” yang memuat 1.035 halaman. Selanjutnya, draf final sebanyak 812 halaman
disetorkan oleh Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar kepada Presiden Jokowi pada 12 Oktober
lalu.
Belakangan, Istana mengumumkan ada perubahan lagi dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Juru
bicara presiden bidang hukum, Dini Purwono, menjelaskan, dalam perubahan naskah omnibus
law UU Cipta Kerja yang kini menjadi 1.187 halaman, Pasal 46 Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dihapus dengan alasan kesalahan tik.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari menilai pemerintah telah
melanggar Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan karena mengubah draf yang sudah disepakati dalam rapat paripurna. Ia menuturkan
Presiden Jokowi juga gagal membangun keterlibatan publik dalam proses legislasi, khususnya
dalam pembuatan Undang-Undang Cipta Kerja. “Bagaimana mau berpartisipasi jika draf tidak
terbuka? Apa iya mau dikasih masukan?” ujar dia.
47