Page 76 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 26 OKTOBER 2020
P. 76
REGULASI LENTUR, PENGAWASAN JANGAN KENDUR
Regulasi ketenagakerjaan yang dilonggarkan melalui Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja
harus diimbangi pengawasan ketenagakerjaan yang lebih ketat. Kebijakan lentur yang tidak
didukung penguatan aspek pengawasan hanya akan memperparah praktik eksploitasi terhadap
pek erja.
Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar, Minggu (25/10/2020),
mengatakan, RUU Cipta Kerja yang melenturkan berbagai aturan ketenagakerjaan berpotensi
menambah praktik eksploitasi dan pelanggaran hak pekerja. Saat ini saja, dengan UU Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang relatif lebih melindungi pekerja, pelanggaran marak
terjadi.
Regulasi yang seharusnya memberi perlindungan kepada pekerja itu pada praktiknya sering tidak
dijalankan. Contohnya, data Survei Angkatan Kerja Nasional 2019 (Sakernas 2019) oleh
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) menunjukkan, mayoritas pek erja di Indonesia
menerima upah di bawah standar upah minimum. Di DKI Jakarta, pada 2019, ada 51 persen
pekerja yang menerima upah di bawah upah minimum provinsi. Di Surabaya dan sekitarnya,
proporsi yang tidak digaji sesuai dengan standar minimum ini bahkan mencapai sekitar 60 persen
pekerja.
Selain upah, perlindungan dan jaminan sosial untuk pekerja juga kerap tidak dipenuhi. BP
Jamsostek mencatat, per Juli 2020, tenaga kerja yang memiliki jaminan perlindungan sosial baru
53 persen atau 49,7 juta orang dari total 92,4 juta tenaga kerja yang seharusnya menjadi peserta
BP Jamsostek.
Akhir-akhir ini, persoalan ketenagakerjaan bertambah akibat imbas Covid-19. Survei Dampak
Covid-19 terhadap Pelaku Usaha oleh Badan Pusat Statistik menunjukkan, ada 17,06 persen
perusahaan merumahkan karyawan tanpa dibayar, 12,83 persen perusahaan memberhentikan
pekerja dalam waktu singkat, dan 6,46 persen merumahkan pek erja dengan pemangkasan
upah.
Menurut Timboel, persoalan banyak ditemukan di ranah implementasi regulasi karena lemahnya
pengawasan ketenagakerjaan oleh aparatur negara di tingkat daerah. Namun, sejauh ini,
pemerintah tidak menunjukkan itikad baik untuk membenahi persoalan tersebut.
"Seharusnya, kalau ada pelanggaran, laporan yang masuk ke pengawas ketenagakerjaan
ditindaklanjuti supaya jika kasus itu mau dibawa ke ranah pidana, ada nota pemeriksaan dari
pengawas ketenagakerjaan. Namun, dari banyak kasus perburuhan yang kami tangani,
pengaduan itu sangat jarang ditindaklanjuti," katanya.
Sakernas 2019 juga menyoroti persoalan pengawasan ketenagakerjaan ini. Penyelenggaraan
pengawasan di pemerintah provinsi dalam lima tahun terakhir ini menurun karena jumlah tenaga
pengawas yang berkurang. Pada 2015, jumlah tenaga pengawas ketenagakerjaan sebanyak
1.918 orang, dan pada 2018 tinggal 1.504 orang.
Alih-alih memperkuat pengawasan untuk mengurangi kasus ketenagakerjaan, regulasi justru
dibuat makin lentur dan longgar. "Dengan regulasi yang dibuat fleksibel di RUU Cipta K erja,
pengawasannya seharusnya diperkuat guna menyeimbangkan agar pelonggaran itu tak
kebablasan," kata Timboel.
Wakil Presiden Dalam Negeri Serikat Buruh Muslim Indonesia Sukitman Sudjatmiko, yang
mengikuti proses pembahasan rancangan peraturan turunan RUU Cipta Kerja selama sepekan
terakhir ini, menyatakan, dalam draf rancangan peraturan pemerintah yang disiapkan
pemerintah, tidak ada disebut mengenai jaminan pengawasan dan perlindungan terhadap hak-
hak pekerja. Topik utama
75