Page 29 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 22 JUNI 2021
P. 29
Dia menjabarkan bahwa setelah terkena PHK, pekerja perlu membawa dokumen terkait dengan
pemutusan itu ke pengadilan hubungan industrial. Nantinya, pengadilan akan menerbitkan akta
bukti perjanjian bersama, dokumen yang menjadi syarat untuk memperoleh manfaat JKP.
Skema itu berlaku jika PHK berlangsung sesuai kesepakatan pemberi kerja dan pekerja. Jika
terjadi perselisihan dan halrus terdapat persidangan, maka putusan pengadilan yang
menentukan seorang pekerja dinyatakan PHK atau tidak, yang menjadi acuan berhak tidaknya
memperoleh manfaat JKP.
MENEKAN PEKERJA
Sayangnya, menurut Timboel, sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak praktik pemberi kerja
menekan pekerjanya untuk mengundurkan diri alih-alih melakukan PHK. Tindakan itu kerap
bertujuan untuk menghindari dari berbagai kewajiban.
Menurutnya, pemberi kerja cenderung meminta atau menekan pekerja untuk mengundurkan diri
karena relatif mudah, murah, dan prosesnya cepat. Kondisi itu menurutnya berbahaya, salah
satunya karena pekerja tidak bisa memperoleh manfaat JKP.
"Enggak akan berlaku karena pekerjanya mengundurkan diri, bukan PHK. Selama ini, orang kalau
mau di-PHK pasti dikondisikan mengundurkan diri, padahal pekerja kan dia peserta yang
membayar iuran, tapi pas di-PHK tidak bisa mendapat manfaat [JKP]," ujar Timboel.
Menurutnya, praktik itu melanggar ketentuan Undang-Undang (UU) 40/2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN),
yakni peserta adalah orang yang mendaftar dan membayar iuran, sehingga berhak mendapatkan
manfaat dan informasi atas program yang diikutinya.
Kondisi serupa pun berlaku bagi pekerja dengan status Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT),
pekerja konstruksi, dan pekerja migran Indonesia (PMI). Mereka aktif sebagai peserta,
membayar iuran, tapi tidak dapat memperoleh manfaat JKP.
"Orang diposisikan disuruh membayar iuran tapi ketika jatuh waktunya, tidak mendapatkan
manfaat Ini persoalan ada inkonsistensi UU SJSN, UU Cipta Kerja, dengan PP 37," ujar Timboel.
Menurutnya, kondisi itu perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah, Kementerian
Ketenagakerjaan, dan BPJS Ketenagakerjaan. UU SJSN sebagai payung hukum pelaksanaan
jaminan sosial harus selalu dipenuhi amanatnya.
Selain syarat keaktifan peserta yang dilihat dari pembayaran iuran, penerima manfaat JKP pun
harus bersedia untuk bekerja kembali.
Adapun, manfaat uang tunai yang akan diperoleh adalah paling banyak 6 bulan upah, dengan
ketentuan 45% dari upah untuk 3 bulan pertama dan 25% dari upah untuk 3 bulan berikutnya.
Terdapat pula manfaat akses informasi ke pasar kerja dan pelatihan kerja yang akan diberikan
BPJAMSOSTEK. Hal tersebut bertujuan agar para pekerja dapat kembali ke bursa tenaga kerja
dan menjadi produktif lagi. 0
Ketentuan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang mengatur minimal kepesertaan
aktif 12 bulan dihitung sejak PP 37/2021 tentang Penyelenggara Program Jaminan Kehilangan
Pekerjaan berlaku, membuat klaim pekerja yang kena PHK tidak bisa dilakukan. Dengan begitu,
klaim baru bisa mulai dibayar Februari 2022.
28