Page 58 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 24 AGUSTUS 2020
P. 58
kemampuan memanfaatkan penjualan secara dalam jaringan. Turunnya daya beli masyarakat
juga berimbas pada penjualan usaha ultramikro.
BERDAYAKAN USAHA ULTRAMIKRO
Pandemi Covid-19 yang lalu memunculkan sejumlah kebijakan untuk mengatasi penyakit itu,
seperti dengan pembatasan sosial, telah memukul pelaku usaha ultramikro.
Setelah sejumlah kantor dan sekolah yang selama ini menjadi tempat banyak pelaku usaha
ultramikro berjualan belum kembali beroperasi normal, mereka juga memiliki akses terbatas
untuk berjualan di perumahan. Pelaku usaha ultramikro umumnya juga belum memiliki
kemampuan memanfaatkan penjualan secara dalam jaringan. Turunnya daya beli masyarakat
juga berimbas pada penjualan usaha ultramikro.
Sejumlah pelaku usaha ultramikro yang diwawancarai Kompas akhir pekan lalu mengungkapkan
penghasilan mereka saat ini anjlok dibandingkan dengan sebelum pandemi Co-vid-19 kendati
pemerintah telah melonggarkan pembatasan sosial.
Marso (58), penjual buah potong keliling, misalnya, mengatakan, omzetnya kini rata-rata Rp
300.000 per hari. Omzet itu lebih rendah dibandingkan dengan sebelum pandemi Co-vid-19 yang
sekitar Rp 500.000 per hari.
"Yang mencari nafkah sekarang di keluarga hanya saya. Istri saya di Lamongan belum bisa
kembali lagi ke sini setelah diputus kontrak sebagai kuli. Di Jakarta, saya harus menafkahi satu
mertua, sepupu, dan anak balita," kata pria yang tinggal di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan,
sejak 1985 itu.
Pendapatan harian yang tak seberapa sangat pas-pasan untuk membiayai kebutuhan makan
sehari-hari dan kontrak rumah Rp 800.000 per bulan.
Liputan 4K
Harian Kompas (Kompas.-id), Kompas TV, Kompas.-com, Kontan (Kontan.co.id), pekan ini,
membuat liputan bertema usaha ultramikro.
Ia juga tidak pernah mendapatkan informasi mengenai bantuan pembiayaan usaha dari
pemerintah. Jika nantinya dapat, ia berharap bantuan modal usaha itu bisa ia pakai untuk
membuka usaha yang lebih besar, seperti menjual soto Lamongan di rumah, agar tidak perlu
berjalan jauh berjualan.
Nasib sama juga diutarakan Ali (40), pedagang es di kawasan Mulyaharja, Kota Bogor, Jawa
Barat. Sudah tiga tahun, warga asli Kota Cirebon ini berjualan es Rp 3.000 per gelas. Omzet
harian turun dari Rp 200.000 menjadi Rp 100.000, bahkan tak jarang di bawah itu.
pemerintah. "KTP (kartu tanda penduduk) saya, kan, dari Cirebon. Mungkin karena itu jadi saya
enggak dapat bantuan apa-apa. Bantuan pemerintah juga lewat bank, sementara saya enggak
punya rekening bank," katanya. Kalau memiliki modal usaha lebih, ia berencana membeli
gerobak sendiri agar tidak lagi mengeluarkan biaya sewa gerobak Rp 15.000 per hari.
Sekretaris Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Rully Indrawan, akhir pekan lalu,
menjelaskan, meski secara eksplisit tidak dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (U M KM), usaha ultramikro dalam praktiknya
memang ada. "Sejauh ini, ultramikro masih termasuk dalam usaha mikro. Secara modal, usaha
ultramikro hanya sekitar Rp 1 juta sampai Rp 2 juta dan hasil yang didapat biasanya hanya untuk
57