Page 158 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 22 FEBRUARI 2021
P. 158

kalangan. Yaitu, RPP Pelayaran, RPP Pengupahan, dan RPP Pekerja Kontrak Waktu Tertentu
              (PKWT).
              Dalam RPP Pelayaran, ada beberapa hal yang menjadi sorotan utama. Pertama adalah soal ruang
              lingkup  usaha  pelayaran.  Dalam  RPP  ini,  ada  beberapa  pasal  yang  berpotensi  menimbulkan
              persaingan tidak sehat, utamanya antara agen pelayaran dan pemilik kapal.

              Menurut ahli hukum kemaritiman Nirmala Chandra Kirana Motik, perlu kategorisasi keagenan
              kapal. Pengategorian ini berguna untuk meningkatkan hasil usaha di laut nasional namun tidak
              saling mematikan satu sama lain. Jika ditilik dari sejarahnya, agen adalah bagian dari usaha di
              perusahaan pelayaran. Maka, agen sebagai bisnis penunjang sebenarnya tidak bisa mengambil
              lini bisnis pelayaran secara menyeluruh. "Agen kapal nasional mengurus kepentingan operasional
              sesuai kapasitas dan keahlianya. Sementara itu, perusahaan angkutan laut nasional melakukan
              kegiatan keagenan selain untuk pengurusan kepentingan operasional juga untuk kepentingan
              komersial kapal," ujarnya.

              Selain masalah kategorisasi, RPP Pelayaran ini juga berpotensi membunuh industri pelayaran
              dalam negeri. Pasalnya, industri pelayaran asing bisa berkompetisi langsung dengan industri
              pelayaran  dalam  negeri.  Menurut guru besar  hukum  persaingan  usaha Universitas  Sumatera
              Utara (USU), Ningrum Natasya Sirait, industri pelayaran nasional belum kompetitif dan perlu
              dilindungi. "Kita belum sampai pada level playing field yang sama, baik dari sisi modal, teknologi
              maupun skill-nya," ucapnya.
              Kritikan  ini  pun  dijawab  oleh  Sekretaris  Direktur  Jenderal  Perhubungan  Laut  Kementerian
              Perhubungan,  Andi  Hartono.  Menurutnya,  RPP  Pelayaran  disusun  sebagai  tindak  lanjut
              ditetapkannya  UUCK.  Maka,  RPP  ini  mengemban  semangat  yang  sama,  yakni  memberikan
              kemudahan  berusaha  dan  berinvestasi,  pelindungan  terhadap  usaha  mikro,  kecil,  dan
              menengah. "Artinya, semua pelaku usaha dilindungi," katanya kepada Erlina Fury Santika dari
              Gatra.

              Materi dari RPP ini pun sudah didiskusikan oleh semua kalangan. Bahkan, Andi melanjutkan,
              untuk perumusan norma pengaturan terkait keagenan juga sudah dikonsultasikan dengan Komisi
              Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Selain itu, pihaknya juga sudah melakukan pembahasan
              dengan  semua  asosiasi  pelaku  usaha.  "Kontroversi  itu  muncul  sebagai  akibat  dari
              diberlakukannya    suatu   ketentuan    peraturan   per-undang-undangan.     (Jika)   adanya
              ketidaksesuaian antara das sein dan das sollen," ujarnya.

              Masalah lain ada di Kementerian Tenaga Kerja menyangkut RPP Pengupahan dan RPP PKWT.
              Kedua aturan ini masih berkutat dalam hal yang merupakan lagu lama: kesejahteraan buruh.

              Sekretaris  Jenderal  Organisasi  Pekerja  Seluruh  Indonesia  (Sekjen  OPSI)  Timboel  Siregar
              berpendapat, dua RPP ini agak sulit untuk diterapkan. Selain itu, ada potensi upah minimum
              kota/kabupaten akan berkurang. "Misalnya di Bekasi, itu sudah 4,6 juta. Kalau RPP Pengupahan
              ini  diterapkan,  maka  akan  bisa  disesuaikan  konsumsi  masyarakat  rata-rata.  Nanti  dihitung,
              nilainya bisa saja dari 4,5 juta jadi 4,2 juta per bulan," ucap Timboel.

              Dia meminta agar pemerintah mengkaji beleid ini lebih dalam. Perlu mitigasi soal pendapatan
              buruh dan juga perusahaan yang kadang tidak memiliki struktur pengupahan yang jelas. "Kondisi
              kabupaten yang satu dengan kabupaten lain kan harus dipikirkan. Bagaimana untuk mendukung
              daya  beli pekerja  dan keluarganya.  Ini  yang belum  diakomodir  dalam RPP Pengupahan  ini,"
              ucapnya.
              Timboel  juga  menyoroti  RPP  PKWT,  utamanya  soal  masa  pepanjangan  kontrak  hingga  lima
              tahun.  Menurutnya,  risiko  yang  akan  ditanggung  para  pekerja  makin  besar.  Di  sisi  lain,
              perusahaan makin leluasa memperpanjang kontrak tanpa kejelasan.

                                                           157
   153   154   155   156   157   158   159   160   161   162   163