Page 112 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 12 JANUARI 2021
P. 112
PEMERINTAH DIMINTA HENTIKAN JATUHNYA KORBAN AWAK KAPAL PERIKANAN
Destructive Fishing Watch (DFW) sebagai pengelola Fishers Center menerima 40 pengaduan
korban awak kapal perikanan Indonesia yang bekerja di kapal ikan dalam dan luar negeri dalam
kurun waktu Januari-Desember 2020.
Dari 40 pengaduan tersebut tercatat 103 korban awak kapal perikanan yang terjebak dalam
praktik kerja yang tidak adil dan merugikan. Melihat kondisi tersebut, pemerintah dinilai perlu
secepatnya mengambil langkah dan kebijakan strategis untuk mencegah jatuhnya korban awak
kapal perikanan.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan
mengatakan, dari 40 pengaduan kasus tersebut 6,32% merupakan kasus luar negeri dan 36,8%
adalah kasus awak kapal perikanan dalam negeri.
"Saat ini mayoritas pengaduan dilakukan oleh mereka yang bekerja di kapal ikan luar negeri atau
pekerja perikanan migran," kata Abdi dalam keterangan tertulisnya, Senin (11/1/2021).
Hal tersebut mengindikasikan, awak kapal perikanan Indonesia yang bekerja di kapal luar negeri
sangat rentan mengalami masalah. Masalah yang sering diadukan oleh para pekerja perikanan
tersebut adalah terkait dengan gaji dan upah yang tidak dibayar atau dipotong, asuransi, serta
kesehatan dan keselamatan kerja.
Abdi juga menilai, pemerintah kurang responsif menyikapi kesemrawutan tata kelola awak kapal
perikanan, sehingga tidak bisa memberikan perlindungan maksimal kepada pekerja awak kapal
perikanan.
"Sejumlah kebijakan perlindungan dalam status pending seperti Rancangan Peraturan
Pemerintah tentang pelaut migran dan pelaut perikanan serta rencana aksi nasional perlindungan
awak kapal perikanan," ucap Abdi.
Kedua hal tersebut menjadi penting sebab akan menjawab sejumlah masalah awak kapal
perikanan dengan pendekatan program yang holistik dan terintergrasi oleh kementerian dan
lembaga.
Sementara itu, Koordinator Program SAFE Seas Project Baso Hamdani menyampaikan perlunya
pemenuhan aspek legalitas dan akreditasi perusahaan perekrut dan penempatan (manning
agent) awak kapal perikanan.
"Saat ini terdapat puluhan manning agent yang melakukan perekrutan dan pengiriman awak
kapal perikana ke Tiongkok dan negara lain tanpa memiliki perizinan berusaha sesuai ketentuan
pemerintah," jelas Baso.
Hal ini disebabkan karena dualisme rezim perizinan perekrutan dan penempatan pekerja pelaut
migran yaitu melalui Kementerian Perhubungan dan Kementerian Tenaga Kerja. Ini
menyebabkan ketidakpastian berusaha dan ekonomi biaya tinggi bagi pelaku usaha (manning
agent).
"Bagi pemerintah, kondisi ini berimplikasi bagi lemahnya pembinaan dan pengawasan bagi
manning agent terutama yang tidak memiliki izin resmi tapi masih tetap bisa beroperasi" ujarnya.
Oleh karena itu kata dia, pemerintah perlu membenahi hal ini, agar regulasi tentang hal ini
segera didefinitifkan dengan mengeluarkan RPP tentang pelaut migran dan pelaut perikanan dan
pemerintah. "Serta melakukan akreditasi kepada perusahaan perekrut dan pengirim awak kapal
perikanan keluar negeri," tutupnya.
111