Page 131 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 2 SEPTEMBER 2020
P. 131
Persoalannya adalah jika dalam kondisi lesunya perekonomian akibat pandemi dan masyarakat
membutuhkan lapangan pekerjaan maka RUU Cipta Kerja diharapkan bisa menjadi salah satu
solusi bagi penyerapan, sebagaimana disampaikan dalam pidato pertama presiden Joko Widodo
saat pertama kali dilantik sebagai presiden periode 2019 - 2024. Semangat pembentukan
omnibus law yang kini dikenal sebagai RUU Cipta Kerja adalah menciptakan aturan yang
terintegrasi untuk kesejahteraan masyarakat dengan menciptakan lapangan pekerjaan dan
memudahkan investasi dari hambatan-hambatan yang selama ini menghalangi potensi investasi
dan terciptanya lapangan pekerjaan.
Shane Murugan (2011), ahli perundang-undangan Sorbonne University menguraikan bahwa
pembahasan omnibus law merupakan satu kesatuan antar bagiannya, mengingat omnibus law
merupakan aturan payung yang dibentuk berdasarkan tujuan tertentu. Ihwal semangat
pembentukan omnibus law Cipta Kerja di Indonesia adalah membentuk daya saing melalui
perekonomian, yakni mengurangi faktor penghambat pada investasi sehingga daya saing
Indonesia sebagai tujuan investasi menjadi lebih baik dan berkorelasi positif pada penciptaan
lapangan pekerjaan. Artinya dalam hal ini substansi dari seluruh klaster yang ada dalam RUU
Cipta Kerja memiliki kaitan satu sama lain.
Produktif atau Kontra Produktif ? Kini masyarakat terbelah menyikapi pembahasan kembali RUU
Cipta Kerja yang segera akan memasuki klaster ketenagakerjaan. Kalangan yang menyikapi
dengan pesimis ini memandang bahwa dengan ditundanya pembahasan RUU Cipta kerja,
khususnya penundaan klaster ketenagakerjaan akan menciptakan peluang bagi perubahan
substansi di klaster ketenagakerjaan sehingga akan lebih menguntungkan bagi pekerja.
Pandangan ini tentunya mewakili pandangan SP/SB maupun mayoritas pekerja.
Pandangan ini tidak sepenuhnya keliru karena dengan melihat anatomi dari RUU Cipta Kerja
yang terdiri dari 11 klaster yang saling berkaitan, 1200 Pasal yang merangkum tidak kurang dari
79 aturan perundangan, jika salah satu klasternya bermasalah maka akan berdampak pada
klaster lainnya. Dengan kondisi demikian jika dipaksakan untuk dibahas dan disahkan maka RUU
Cipta Kerja akan potensial menuai banyak gugatan uji materiil ( judicial review ). Pada akhirnya
jika banyak Pasal yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi maka justru akan menyebabkan
RUU Cipta Kerja tidak dapat berfungsi sebagaimana yang diharapkan.
Klassen (2006), menguraikan bahwa pembentukan aturan payung seperti omnibus law harus
benar-benar sempurna dan memerlukan kompromi semua pihak untuk tujuan yang sama. Hal
ini mengingat jika ada bagian Pasal yang kemudian dibatalkan atau diubah akan berpengaruh
pada pada bagian klaster lainnya dan pada akhirnya justru membuat RUU Cipta Kerja tidak dapat
mewujudkan daya saing yang diharapkan.
Sebaliknya bagi kalangan yang menyayangkan penundaan pembahasan RUU Cipta Kerja,
khususnya klaster ketenagakerjaan memandang bahwa RUU Cipta kerja dapat menjadi salah
satu alat percepatan pemulihan lesunya kondisi perekonomian akibat pandemi Covid-19.
Membangun daya saing investasi adalah pintu gerbang yang strategis bagi penciptaan lapangan
kerja. Dalam hal ini justru esensi 'Cipta Kerja' itu sendiri ada pada pembentukan daya saing yang
selama ini menjadi penghambat bagi investasi dan penciptaan lapangan pekerjaan itu sendiri.
Salah satu pandangan yang mendukung RUU Cipta kerja untuk segera disahkan maka dapat
menjadi salah satu solusi bagi tingginya PHK pada pekerja pada masa pandemi Covid-19.
Demikian pula RUU Cipta Kerja dapat mendorong inkubator bisnis sebagaimana diharapkan
dalam program kartu pra kerja. Dalam kondisi resesi dan pertumbuhan ekonomi minus, omnibus
law Cipta Kerja dapat menjadi insentif dalam pemulihan perekonomian pasca pandemi..
130