Page 12 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 31 MEI 2021
P. 12
Hubungan industrial merupakan keterkaitan kepentingan antara pekerja/buruh dengan
pengusaha, yang berpotensi menimbulkan perbedaan pendapat bahkan perselisihan antara
kedua pihak. Dalam era industrialisasi, masalah perselisihan hubungan industrial menjadi
semakin meningkat dan kompleks, sehingga diperlukan institusi dan mekanisme penyelesaian
perselisihan hubungan industrial yang cepat, tepat, adil, dan murah.
Mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial telah diatur oleh UU No. 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Selama ini, para praktisi hubungan
industrial lebih berpusat kepada Pengadilan Hubungan Industrial sebagai lembaga yang
memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara perselisihan hubungan industrial.
Padahal, ada lembaga-lembaga non litigasi di luar Pengadilan yang telah diatur dalam Undang-
undang ini, yakni bipartit, mediasi, konsiliasi, dan arbitrase. Prosedur dan acara di lembaga-lem-
baga non litigasi ini lebih fleksibel dan mengarah pada win-win solution, sesuai asas dalam UU
No. 2 Tahun 2004 lebih mengutamakan penyelesaian perselisihan secara musyawarah dan
mufakat antara para pihak yang berselisih.
Setiap perselisihan hubungan industrial wajib diselesaikan terlebih dahulu melalui perundingan
bipartit, yaitu antara pengusaha dengan pekerja/ buruh. Apabila terdapat mufakat/kesepakatan,
dituangkan dalam bentuk Perjanjian Bersama.
Jika tidak mencapai kesepakatan, penyelesaiannya dapat dilanjutkan dengan melibatkan pihak
ketiga (tripartit), yakni melalui mediasi atau konsiliasi atau arbitrase. Praktik selama ini, lembaga
konsiliasi dan arbitrase tidak pernah digunakan atau dipilih oleh para pihak, tetapi yang
digunakan adalah melalui perundingan mediasi.
Dalam hal musyawarah dan mufakat atau kesepakatan para pihak tercapai dalam perundingan
mediasi atau konsiliasi atau arbitrase, maka kesepakatan wajib dituangkan ke dalam Perjanjian
Bersama (PB) atau Akta Perdamaian (AP) untuk penyelesaian melalui arbitrase, yang disaksikan
dan ditandatangani oleh mediator atau konsiliator atau arbiter.
Perjanjian Bersama atau Akta Perdamaian yang dibuat oleh para pihak adalah kesepakatan yang
memiliki kekuatan mengikat mereka sebagaimana ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata, sehingga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial dianggap tuntas, dan tidak dapat dilanjutkan lagi
ke tingkat litigasi atau Pengadilan Hubungan Industrial.
Selanjutnya, ditetapkan pula oleh UU No. 2 Tahun 2004, PB atau AP tersebut harus didaftarkan
ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) pada Pengailan Negeri di wilayah perjanjian dibuat,
untuk mendapatkan Akte Bukti Pendaftaran.
Kekuatan Akte Bukti Pendaftaran PB atau AP disebutkan memiliki daya eksekutorial. Urgensinya,
apabila salah satu pihak tidak melaksanakan isi PB atau AP tersebut, pihak yang dirugikan dapat
memohon fiat eksekusi kepada Ketua PHI dengan melampirkan PB atau AP dan Akte Pendaftaran
PB atau AP.
Eksekusi terhadap Perjanjian Bersama Bipartit Mediasi/Konsiliasi, atau Akta Perdamaian Arbitrase
yang telah didaftarkan pada PHI di tempat dibuatnya PB atau AP, dilakukan oleh PHI di wilayah
I^B atau AP tersebut didaftar. Eksekusi PB atau AP hanya dapat dilakukan setelah PB atau AP
tersebut di fiat eksekusi oleh ketua PHI dengan memberi irah-irah "DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN \ANG MAHA ESA" di atas Akte PB atau AP dan di bawah PB atau AP
ditulis kata-kata "PB atau AP ini dapat dijalankan", kemudian dibubuhi tanggal dan
ditandatangani oleh ketua PHI setempat serta diberi stempeL Jadi, jelaslah Pendaftaran PB atau
AP ini sangat penting untuk memberikan kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan kepada
pihak yang dirugikan apabila ternyata pihak lainnya tidak melaksanakan isi Perjanjian Bersama
atau Akta Perdamaian. * Dosen Program Studi Ilmu Hukum UPH Kampus Medan
11