Page 161 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 21 JANUARI 2020
P. 161
Persetujuan DPR Sama dengan UU lainnya, penerbitan UU ini harus dibahas dan disetujui bersama-
sama dengan DPR.
Presiden Jokowi pun sudah mengumpulkan para elite partai politik koalisi pendukung pemerintah
untuk menggolkan misi besar ini.
Pertemuan digelar tertutup di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (14/1/2020) lalu.
Selain ketua umum dan sekjen parpol, hadir pimpinan DPR dan pimpinan fraksi yang berasal dari
parpol pendukung pemerintah.
Jokowi berharap, pembahasan dua RUU Omnibus Law ini bisa rampung dalam 100 hari kerja setelah
drafnya diajukan pemerintah pada bulan Januari ini.
"Sudah saya sampaikan pada DPR, mohon agar ini diselesaikan maksimal 100 hari. Saya akan angkat
jempol, dua jempol kalau DPR bisa selesaikan ini dalam 100 hari," kata Jokowi saat menghadiri
Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan di Jakarta, Kamis (16/1/2020).
Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad optimistis DPR bisa menyelesaikan pembahasan dua
Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dan Fasilitas Perpajakan dalam
waktu 100 hari.
Menurut Dasco, sepanjang pemerintah dan DPR aktif membahasnya, Omnibus Law dapat rampung
sesuai target.
"Saya pikir apa yang disampaikan presiden (target 100 hari rampung Omnibus Law ) bukan hal
mustahil," kata Dasco di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (17/1/2020).
Jika menengok kekuatan parpol pendukung pemerintah yang mayoritas di DPR, menggolkan dua UU
Omnibus Law ini bukan perkara sulit.
Kendati demikian, suara penolakan di luar parlemen lantang disuarakan oleh para buruh .
Penolakan buruh Organisasi buruh menentang UU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja karena
dianggap justru akan merugikan para pekerja.
Pada Senin (20/1/2020) hari ini, buruh menggelar aksi besar-besaran di depan Gedung DPR untuk
menyatakan penolakan pada UU sapu jagat tersebut.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Saiq Iqbal setidaknya mencatat ada enam
alasan penolakan dari serikat buruh terkait dengan RUU Omnibus Law .
Pertama, dampak terburuk yang secara langsung dirasakan buruh adalah hilangnya upah minimum.
Hal ini, terlihat, dari keinginan pemerintah yang hendak menerapkan sistem upah per jam.
Dengan kata lain, pekerja yang bekerja kurang dari 40 jam seminggu, maka upahnya otomatis akan di
bawah upah minimum.
Kedua, aturan mengenai pesangon dalam UU 13/2003 justru akan dihilangkan dan digantikan dengan
istilah baru, yakni tunjangan PHK yang hanya 6 bulan upah.
Padahal sebelumnya, buruh berhak mendapatkan hingga 38 bulan upah.
Ketiga, buruh menolak istilah fleksibilitas pasar kerja. Iqbal menilai, istilah ini dapat diartikan tidak
adanya kepastian kerja dan pengangkatan karyawan tetap (PKWTT).
Keempat, Omnibus Law ini juga dikhawatirkan menghapus berbagai persyaratan ketat bagi tenaga
kerja asing.