Page 56 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 14 AGUSTUS 2020
P. 56
Demikian pula, usaha-usaha informal (ilegal) seperti tambang pasir sungai/bukit/ pantai, batu
pondasi, tanah urug atau tambang emas berskala 'kecil' atau 'menengah bawah' di daerah
perdesaan yang didanai oleh para pemodal sangat perlu diatur dalam
RUU tersebut.
Sejumlah pengamat lainnya menilai kegiatan usaha yang selama ini terhambat oleh perizinan
dan syarat-syarat terkait lingkungan, bentuk hambatan sebenarnya adalah korupsi dan rumitnya
proses administrasi perizinan. Penilaian ini mungkin ada benarnya. Akan tetapi, fakta bahwa
terdapat prosedur yang selama ini menghambat yang tidak terkait korupsi.
Misalnya dalam proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung, pemerintah hanya melelang proyek,
dan pelaku usaha harus mendapatkan lahan dan seluruh perizinan, sehingga biaya proyek
menjadi tinggi dan penyelesaian konstruksi tidak tepat jadwal.
Kondisi demikian kemudian akan dibalik melalui Omnibus Law, bahwa pemerintah bertanggung
jawab menyediakan lahan yang diperlukan dalam pelaksanaan proyek sesuai dengan lokasi atau
trase yang direncanakan sekaligus menyediakan seluruh perizinannya. Sehingga pelaku usaha
tinggal melaksanakan pembangunan dan penyediaan pembiayaannya.
Aturan Pelaksanaan
Sebagai catatan akhir bahwa setelah menjadi UU, RUU Cipta Kerja masih harus didukung dengan
aturan-aturan pelaksanaan, khususnya peraturan pemerintah. Pada akhirnya regulasi ini akan
diimplementasikan melalui Online Single Submission. Sejauh mana efektivitasnya, antara lain
akan tampak pada peningkatan peringkat kemudahan berbisnis (Ease of Doing Z?ttsi'*ss/EoDB)
yang pada 2020 masih stagnan pada posisi 73, jauh di bawah Singapura (2), Malaysia (23), dan
Thailand (21).
Alhasil, reformasi regulasi melalui Omnibus Law sangatlah penting dan bahkan vital untuk
pemulihan ekonomi. Maka, filosofi dasar New Institutional Economics: Institutions matter, benar
adanya.
V Guru Besar FEB UGM
55