Page 55 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 14 AGUSTUS 2020
P. 55
Paradigma percepatan investasi dengan meningkatkan kemudahan berusaha idealnya
berkesesuaian dengan paradigma-paradigma lain dalam rangka percepatan pemulihan ekonomi
pascapandemi Covid-19. Paradigma-paradigma itu adalah, pertama, pemulihan ekonomi dan
pengendalian pandemi memiliki bobot yang sama. Kedua, kesejahteraan sosial dan lingkungan
hidup didahulukan dari kepentingan komersial yang profit oriented. Ketiga, meminimalkan kontak
fisik antarmanusia dalam interaksi/transaksi ekonomi dan perizinan investasi dengan
meningkatkan pemanfaatan teknologi digital, big data dan Artificial Intelligent.
Momentum Normal Baru
Era New Normal menghadirkan momentum yang pas untuk menyempurnakan RUU Cipta Kerja
sebagai agenda strategis yang sudah digagas sejak prapandemi menjadi UU, kendati faktanya
pandemi Covid-19 belum dapat dikendalikan secara optimal. Fakta lainnya, perekonomian telah
terkontraksi dalam dua kuartal pertama tahun 2020. Pertumbuhan ekonomi hanya 2,97% pada
kuartal pertama dan minus 5,32% pada kuartal kedua (data BPS). Angka kemiskinan dan
pengangguran dipastikan meningkat.
Sementara itu biaya mitigasi dampak primer pandemi (kesehatan masyarakat) maupun dampak
sekundernya (dampak sosial ekonomi) dari APBN tidaklah kecil. Maka, triwulan ketiga menjadi
titik tonggak konsolidasi, baik dalam pengendalian pandemi maupun pemulihan ekonomi
berbasis protokol kesehatan dan regulasi keselamatan lainnya.
Beberapa Catatan
Pada laporan berjudul "Indonesia Economic Prospects: The LongRoad to Recovery', World Bank
menyampaikan beberapa catatan penting. Tiga poin utama yang disorot oleh World Bank
menyangkut dampak yang tidak menguntungkan (adverse impacts) terhadap hak-hak tenaga
kerja, kesehatan dan keselamatan masyarakat, serta pelestarian lingkungan.
Catatan World Bank tentang ketenagakerjaan ini sejalan dengan pandangan sejumlah perwakilan
asosiasi buruh yang cenderung mempertahankan ketentuan-keten-tuan dalam UU No 13/2003.
Revisi terhadap UU Ketenagakerjaan dalam Omnibus Law dipandang berpotensi merugikan
pekerja, terutama skema upah minimum.
Dalam aspek lingkungan, relaksasi perizinan lingkungan berpotensi mengganggu kehidupan
masyarakat dan pada gilirannya justru akan berdampak negatif terhadap investasi. Hal senada
juga dikemukakan oleh tokoh senior seperti Prof Emil Salim. Namun Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan kemudian merespons, bahwa perizinan lingkungan sudah 'built in' dengan
persyaratan AMDAL dan standar lingkungan.
Usaha berisiko tinggi terhadap lingkungan hidup senyatanya tidak hanya yang berskala besar,
tapi juga UMKM. Pada Bab (Paragraf V) Energi Dan Sumber Daya Mineral ketentuan tentang
UMKM atau setidaknya UKM, justru tidak disebut sama sekali, padahal faktanya jenis usaha
pertambangan berskala kecil/menengah bawah yang berisiko tinggi ini cukup banyak.
Hal ini kaitannya dengan perubahan ketentuan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 32 (1) berbunyi: "Pemerintah
pusat dan pemerintah daerah membantu penyusunan Amdal bagi usaha dan/atau kegiatan
Usaha Mikro dan Kecil yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup".
Kendati pasalnya berbunyi demikian, akan tetapi usaha skala mikro penambangan emas liar
secara manual di dalam perut gunung atau di hulu sungai tertentu yang menggunakan merkuri
secara tidak aman tentu tidak akan difasilitasi oleh pemerintah atau pemerintah daerah.
54