Page 145 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 12 OKTOBER 2020
P. 145
Saat rezim Habibie, isu yang berkembang adalah pembebasan tokoh buruh, ratifikasi konvensi
perburuhan, pendirian serikat buruh, dan otonomisasi perburuhan dari kooptasi dan intervensi
penguasa.
Kemudian, saat pemerintahan Presiden Megawati Soeka-rnoputri, isu buruh mulai merambah ke
wilayah kebijakan pemerintah, yaitu isu penolakan kenaikan BBM, isu menolak kenaikan
anggaran militer, isu menolak disahkannya UU PPK dan UU PHI, isu kepemimpinan buruh yang
kuat, dan isu konsolidasi penyatuan serikat buruh.
Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, buruh dan NGO dirangkul. Memasuki
pemerintahan SBY, isu yang berkembang adalah tuntutan kenaikan upah, isu jaminan sosial,
BPJS, isu kesetaraan dan keadilan gender, isu kewarganegaraan, isu pendirian partai buruh, dan
isu kepemimpinan tunggal buruh.
Penelitian Muhammad Zuhdan sampai pada kesimpulan bahwa gerakan buruh di Indonesia
sudah sampai fase gerakan New Labour yang tidak hanya berkutat pada masalah upah atau
hubungan industrial semata, tapi sudah jauh melangkah ke isu-isu yang bersifat politik praktis
maupun politik makro. Mengapa buruh tidak mengubah metode perjuangan dari parlemen
jalanan menuju parlemen sesungguhnya? Bisakah buruh membentuk partai sendiri seperti di luar
negeri?
Buruh di negeri ini pada dasarnya ogah berorganisasi. Faktanya, jumlah buruh yang tergabung
di serikat buruh memang jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan jumlah pekerja formal secara
keseluruhan.
Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan pada Maret, jumlah buruh yang tergabung di
dalam organisasi serikat buruh cuma 3.378.808 orang. Mereka bergabung ke dalam 195 unit
konfederasi dan 1.051 unit federasi. Padahal, data dari BPS menyebutkan jumlah pekerja formal
pada 2019 sebanyak 55.272.968 orang.
Dodi Faedlulloh sempat meneliti kegagalan gerakan buruh dan partai buruh pascareformasi.
Pada 1999 hadir Partai Pekerja Indonesia (PPI), Partai Buruh Nasional (PBN), Partai Solidaritas
Pekerja Seluruh Indonesia (PSPSI), Partai Solidaritas Pekerja (PSP), dan Partai Rakyat
Demokratik (PRD). Tidak ada satu pun partai-partai itu yang memperoleh kursi di parlemen.
Pemilu 2004 hanya menyisakan satu partai buruh yang berhasil lolos verifikasi dan menjadi
kontestan, yaitu Partai Buruh Sosial Demokrat (PBSD). Partai ini merupakan perubahan nama
dari PBN yang sebelumnya ikut pada Pemilu 1999.
Namun, partai ini kembali gagal memperoleh kursi dalam pemilu nasional, yang hanya
mendapatkan 636.397 suara (0,56%). Begitu juga Pemilu 2009. partai yang memiliki kaitan
dengan buruh yang mengikuti pemilu ialah Partai Buruh (PB) yang tak lain merupakan nama
baru dari PBSD. Selain PB, ada Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI). PB mendapatkan
265.203 suara (0,25%) dan PPPI memperoleh 745.625 suara (0,72%).
Dua pemilu terakhir, pentolan buruh tidak mau lagi berjuang untuk membentuk partai politik.
Elite buruh bersikap pragmatis, cukup mendukung calon presiden. Dukunglah calon presiden jika
elite buruh mau berkantor di Istana. Jika ingin memengaruhi kebijakan legislasi, bentuklah partai
politik sendiri atau berafiliasilah dengan partai yang sudah ada.
Hanya itu cara buruh membangun posisi tawar. Jangan mau menjadi buruh demo alias orang
yang dibayar untuk demo.
Gaudensius Suhardi
Dewan Redaksi Media Group
144