Page 26 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 30 SEPTEMBER 2020
P. 26
UMSK hilang upah buruh di sektor industri akan turun 30 persen dengan pemberlakuan omnibus
law. Maklum, UMSK adalah upah minum berdasar sektor industri, yang nilainya di atas upah
minimum (UMK).
OMNIBUS LAW LINDAS BURUH
Upah minimum sektoral kabupaten (UMSK), karyawan kontrak, dan outsourcing raib dari
Omnibus Law. Karena itu, Serikat Pekerja (SP) menolak untuk dilibatkan pada pembahasan
kluster ketenagakerjaan antara Panitia Kerja (Panja) Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dengan
Pemerintah.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menjelaskan, saat UMSK hilang
upah buruh di sektor industri akan turun 30 persen dengan pemberlakuan omnibus law. Maklum,
UMSK adalah upah minum berdasar sektor industri, yang nilainya di atas upah minimum (UMK).
"Jumlah buruh penerima UMSK itu puluhan juta orang. Tidak mungkin dalam satu pekerjaan
dengan jumlah jam kerja sama, ada buruh menerima UMK dan yang lainnya UMSK. Ini akan
terjadi diskriminasi, tutur Said Iqbal di Jakarta, Selasa (29/9).
Karena itu, bilang Said, tidak adil kalau sektor otomotif seperti Toyota, Astra, dan lain-lain atau
sektor pertambangan seperti Freeport, Nikel Morowali dan lain-lain, nilai UMK-nya sama dengan
perusahan baju atau perusahaan kerupuk. Karena itu, seluruh dunia ada Upah Minimum Sektoral
(UMS) berlaku sesuai kontribusi nilai tambah tiap-tiap industri terhadap produk domestik bruto
(PDB) negara. "UMSK harus tetap ada. Jalan tengahnya, penetapan nilai kenaikan dan jenis
industri yang dapat UMSK dilakukan di tingkat nasional untuk beberapa daerah dan jenis industri
tertentu saja," ulasnya.
Sedangkan perundingan nilai UMSK, masih ujar Said, dilakukan oleh asosiasi jenis industri
dengan serikat pekerja sektoral industri di tingkat nasional. Di mana, keputusan penetapan
tersebut hanya berlaku di beberapa daerah dan jenis sektor industri tertentu sesuai kemampuan
sektor industri tersebut. "Jadi, tidak harus sama rata sama rasa, karena faktanya setiap industri
berbeda kemampuannya. Karena itu masih dibutuhkan UMSK," ujarnya.
Said mengungkapkan, karyawan kontrak dan outsourcing seumur hidup tanpa batasan waktu
dan jenis pekerjaan menjadi masalah serius bagi buruh. Dengan sistem saat ini, bisa jadi tidak
ada pengangkatan karyawan tetap. Karena pengusaha akan cenderung mempekerjakan buruh
kontrak dan outsourcing. "Ketika tidak ada karyawan tetap dan banyaknya buruh kontrak yang
mudah dipecat, dengan sendirinya pesangon dan jaminan sosial seperti pensiun, hari tua, dan
jaminan kesehatan akan berpotensi hilang," jelasnya.
Selain itu, Said juga mempertanyakan pembayaran Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk
karyawan kontrak dan outsourcing. Sebab, tidak mungkin buruh membayar kompensasi
kehilangan pekerjaan untuk dirinya sendiri, dengan iuran JKP buruh ikut mengiurnya. "Aneh
kalau buruh harus membayar kompensasi dengan uangnya sendiri. Itu pun'belum jelas,
bagaimana kalau pengusaha hanya mengontrak buruh di bawah satu tahun. Berarti buruh
kontrak tidak akan dapat JKP, karena dalam Omnibus Law diatur kompensasi buruh kontrak yang
diberikan setelah bekerja selama 1 tahun," tegasnya.
Begitu pula nasib buruh outsourcing. Karena, menurut Said, tidak mungkin agen outsourcing
harus membayar JKP. Apalagi, kemudian buruh outsourcing hanya dikontrak agen di bawah satu
tahun atau perusahaan pengguna pekerja outsourcing mengembalikan ke agen sebelum habis
masa kontraknya. "Dari mana uang agen outsourcing? Lalu kemudian siapa yang bayar JKPnya?"
ucapnya, (nas)
25