Page 156 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 19 April 2021
P. 156
komposisi dan nomenklatur kabinet tidak pernah dievaluasi secara menyeluruh. Apa masih sesuai
dengan dinamika dan tantangan pembangunan atau tidak. Setiap presiden hanya disibukkan
dengan calon figur anggota kabinet," ujar Rizal di Jakarta (17/4/2021).
SARAN PENGUSAHA, JOKOWI BENTUK 4 NOMENKLATUR KEMENTERIAN BARU
JAKARTA - Sepanjang 2014-2021 Presiden Joko Widodo telah 4 kali merombak kabinet, masing-
masing Agustus 2015, Juli 2016, Januari 2018, Agustus 2018. Reshuffle berikutnya diprediksi
sudah dekat menyusul hasil Rapat Paripurna DPR RI ke-16, tentang penggabungan Kemristek
dengan Kemdikbud dan Kementerian Investasi.
Ketua Umum ASPRINDO (Asosiasi Pengusaha Bumiputera Nusantara Indonesia), Jose Rizal,
mengatakan kementrian baru bisa jadi langkah awal yang baik mencapai tujuan Kabinet
Indonesia Maju yang ingin membangun dasar-dasar yang kuat untuk transisi Indonesia
memasuki fase negara maju. "Sejak awal era reformasi komposisi dan nomenklatur kabinet tidak
pernah dievaluasi secara menyeluruh. Apa masih sesuai dengan dinamika dan tantangan
pembangunan atau tidak. Setiap presiden hanya disibukkan dengan calon figur anggota kabinet,"
ujar Rizal di Jakarta (17/4/2021).
Harmonisasi komposisi kabinet, menurut Jose jadi hal paling mendasar di periode kedua Presiden
Jokowi. Kebijakan harmonisasi komposisi kabinet harus dilakukan secara menyeluruh dan tidak
sebagian seperti ketetapan Sidang Paripurna DPR RI."Jangan sampai ada kesan pengajuan
merger dari kementrian baru tidak by design namun sekedar by accident," lanjutnya.
Karena itu Jose menyebut perlu reorientasi dan restrukturisasi Kabinet secara menyeluruh. Dia
mencontohkan nomenklatur kementerian yang baru, seperti Kementrian Koordinator Produksi
dan Distribusi, Kementrian Industri dan Perdagangan Internasional, Kementrian Pendidikan,
Budaya dan Perluasan Lapangan Kerja, Kementrian Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan
Petani.
Menurutnya ada 3 hal pokok dalam 4 dekade terakhir yang mempengaruhi kinerja kabinet yakni;
masalah link and match, koordinasi dan kebijakan satu pintu, serta harmonisasi komposisi
kabinet. "Persoalan fundamental link and match akibat tingginya pengangguran terdidik karena
irelevansi antara muatan akademis dan kebutuhan dunia kerja. Ini akibat tidak terintegrasinya
kementrian yang menangani pendidikan dan kementrian yang menangani perluasan lapangan
kerja," paparnya.
Karena itu, menurutnya, Kemendikbud justru harusnya digabung dengan Kemnaker. Merger
antara Kemdikbud dan Kemristek menurutnya tetap meninggalkan masalah irelevansi pendidikan
dengan kebutuhan kerja. "Karena perkembangan dan dinamika kompetensi kerja seiring dengan
kecepatan kemajuan teknologi harus diintegrasikan ke dalam kurikulum, bukan ke Kementerian
Investasi," lanjutnya.
Terkait masalah krusial koordinasi, setiap implementasi keputusan pemerintah berjalan lambat
karena benturan birokrasi. Sebagai contoh, sektor kepemudaan yang ditangani Kemenpora
programnya tersebar di lebih dari 20 K/L, sektor UMKM yang ditangani oleh Kemenkop UMKM
program kerja tersebar di 17 Kementerian, Sektor Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang ditangani
Kemenparekraf programnya tersebar di 17 K/L dan sama sekali sulit untuk disatukan di bawah
satu atap kebijakan. "Hal ini jelas menciptakan inefisiensi APBN dan tumpang tindih," jelasnya.
(nng).
155