Page 206 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 1 SEPTEMBER 2020
P. 206
DILEMA OMNIBUS LAW DAN PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH
Indonesia yang membentang dari Sabang sampai Merauke merupakan sebuah negara kesatuan
yang sarat akan semangat nasionalisme yang terus membara sejak para founding fathers
mempeijuang-kan kemerdekaan negeri hingga masa sekarang, di mana kehidupan
bermasyarakat berlandaskan asas Bhinneka Tunggal Ika. Walaupun berbeda-beda tetapi tetap
satu, negara Indonesia berada di bawah pemerintah pusat yang berperan sebagai penyelenggara
pemerintahan yang berdaulat dan memiliki dasar konsitutsional yaitu Undang-undang Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18 (5) UUD
1945 dan UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah pusat
mendelegasikan kewenangan pemerintahannya yang dimanifesta-sikan dalam kuasa otonomi
daerah.
Pada dasarnya, otonomi daerah memiliki sebuah nilai dasar, yakni kerja sama pemerintah daerah
dan masyarakat untuk mengambil tindakan secara bersama-sama guna menyelesaikan
permasalahan yang ada. Dalam membantu pelaksanaan fungsi pemerintahan tersebut,
masyarakat, khususnya, berkontribusi dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan
pemantauan kebijakan publik di daerah yang berujung pada efektivitas dan efisiensi fungsi
pemerintahan. Tentunya, konsep otonomi daerah tersebut dapat mengakibatkan berbagai
permasalahan praktis dalam implementasinya. Salah satunya adalah kerancuan dan tumpang
tindihnya implementasi kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yang dipicu oleh
kompleksitas regulasi tentang otonomi daerah. Catatan Komite Pemantauan Pelaksanaan
Otonomi Daerah, setidaknya 347 peraturan atau kebijakan daerah bertentangan dengan regulasi
pemerintah pusat dan peraturan perundang-undangan lain.
Salah satu usulan untuk menanggulangi permasalahan obesitas dan tumpang tindihnya
peraturan pe-rundang-undangan tersebut adalah omnibus law yang berfungsi sebagai Undang-
Undang (UU) holistik yang memangkas dan mengamandemen peraturan perundang-undangan
tersebut. Berbagai peninjauan atas omnibus law yang kini berupa Rancangan Undang-undang
Cipta Kerja yang kini menjadi materi program legislasi nasional mendeteksi adanya indikasi
kewenangan pemerintah daerah yang dikurangi oleh pemerintah pusat, yang diberikan
keleluasaan untuk mengatur kebijakan di tingkat daerah. Sebagai contoh, RUU Cipta Kerja
menghapus sejumlah kewenangan daerah dalam penyediaan tenaga listrik dimana penyediaan
tenaga listrik dikuasai oleh negara yang penyelenggaraannya dilakukan oleh pemerintah pusat,
meskipun pemerintah daerah merupakan pihak dengan kuasa otonomi dan pemahaman
menyeluruh atas potensi sumber daya lokal.
Omnibus law memang merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menjamin kepastian,
keadilan, dan kemanfaatan hukum demi tujuan pengembangan ekonomi nasional. Akan tetapi,
harus dipastikan, upaya tersebut tidak melanggar prinsip otonomi daerah yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan dan diterapkan secara konsisten berdasarkan konstitusi. Dalam
implementasinya, perlu diperhatikan omnibus law juga tidak dapat melanggar hak asasi manusia
yang juga dilindungi oleh UUD 1945. Seyogyanya, masyarakat harus mengawal perampingan
dan peningkatan efektifitas regulasi, sehingga merupakan upaya untuk mensejahterakan
masyarakat yang bebas dari pengaruh maupun kepentingan politis yang ada.
Oleh karena itu, di tengah perdebatan mengenai penerapan omnibus law tersebut, keterlibatan
pemerintah daerah merupakan elemen penting yang aspirasinya perlu didengar oleh para
pembuat hukum dan kebijakan. Ketika omnibus law dirumuskan, pasal-pasalnya harus
diselaraskan dengan legislasi yang ada, termasuk peraturan daerah guna menghindari
pertentangan legislasi yang mengancam kepastian hukum.
205