Page 42 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 29 JULI 2020
P. 42

Departemen Tenaga Kerja (waktu itu) memperkirakan angka pengangguran akan meningkat
              dari 4,68 persen (1997) menjadi 14,8 persen. Angka proyeksi

              Bappenas dan ILO 13,6 persen dan 10,0 persen. Kenyataannya, ketika tahun berikutnya (1999)
              BPS memublikasikan angka pengangguran 1998 secara resmi, hasilnya jauh di bawah itu semua,
              yaitu  "hanya"  5,2  persen!  Apa yang  terjadi? Mengapa  angka pengangguran  (relatif)  rendah
              padahal pertumbuhan ekonomi merosot tajam (hingga minus 13,2 persen) ketika terjadi krisis?
              Bukankah berdasarkan rumus employment elasticity penyerapan tenaga kerja akan turun ketika
              pertumbuhan ekonomi negatif?

              Kunci jawaban untuk berbagai pertanyaan itu adalah tunjangan penganggur (unemployment
              benefiC).  Ketiadaan  tunjangan  penganggur  di  Indonesia  (dan  negara  berkembang  pada
              umumnya) menyebabkan hanya orang yang punya uang yang mampu hidup tanpa penghasilan
              (dari bekerja). Uang yang dimaksud dapat berupa pesangon, tabung-an, hasil penjualan aset,
              atau pemberian orang lain (termasuk pemerintah). Tanpa itu, untuk bertahan hidup orang tak
              punya pilihan kecuali bekerja. Bekerja apa saja, dengan upah berapa saja.

              Meski demikian, bukan berarti krisis saat itu tak berdampak pada pasar tenaga kerja. Dampak
              itu bukan pada lonjakan jumlah/angka penganggur. Hasil analisis penulis berdasar data Indone-
              sian Family Life Survey (IFLS) menunjukkan bahwa pada saat krisis terjadi perubahan status
              pekerjaan pada cukup banyak pekerja, dari formal menjadi informal. Kemungkinan besar ini
              karena pekerja yang terkena PHK beralih profesi jadi pekerja sektor informal untuk bertahan
              hidup.

              Krisis  ekonomi  juga  menyebabkan  terjadinya  peningkatan  tingkat  partisipasi  angkatan  kerja
              (TPAK). Cukup banyak orang yang sebelumnya tak aktif di pasar kerja berubah jadi angkatan
              kerja  aktif  di  pasar  kerja,  baik  sebagai  pekerja  maupun  pencari  kerja.  Dampak  krisis  juga
              dirasakan dalam bentuk penurunan jam kerja pada pekerjaan utama. Situasi krisis membuat
              intensitas  kegiatan  produksi/usaha  jauh  berkurang  yang  berimplikasi  pada  berkurangnya
              intensitas penggunaan tenaga kerja. Di luar itu semua, dampak krisis paling penting adalah
              terjadinya penurunan penghasilan di kalangan mereka yang berstatus pekerja.


              Dengan kata lain, di masa krisis 1998 banyak orang tetap bekerja karena tak punya pilihan lain,
              tapi kesejahteraannya merosot. Akibatnya, angka pengangguran yang relatif "biasa saja" tak
              secara baik menggambarkan "penderitaan ekonomi" masyarakat di masa sulit itu.

              Pelajaran

              Belajar dari pengalaman krisis 1998 itu, ledakan jumlah penganggur sebagai dampak pandemi
              Covid-19  sebenarnya  belum  tentu  terjadi.  Peningkatan  angka  pengangguran  mungkin  saja
              terjadi, tetapi belum tentu sebesar hasil proyeksi yang dibuat berbagai lembaga.

              Sangat  mungkin  masalah  di  pasar  tenaga  kerja  justru  tak  terlihat  dari  tingginya  angka
              pengangguran. Dalam kondisi demikian, menyusun kebijakan ketenagakerjaan hanya dengan
              mengacu  pada  angka  pengangguran  bisa  menimbulkan  risiko  berupa  tak  efektifnya
              program/kebijakan penanganan dampak pandemi di pasar tenaga kerja.

              Seperti disinggung sebelumnya, ketiadaan tunjangan penganggur membuat tak semua orang
              sanggup menganggur. Orang yang terkena PHK dengan pesangon, misalnya. Untuk sementara
              waktu, mereka akan sanggup menganggur dan hidup dengan mengandalkan uang pesangon.
              Orang yang punya tabu ngan juga demikian. Meski kehilangan pekerjaan, mereka masih dapat
              bertahan hidup dengan menggunakan uang ta-bungan. Demikian juga orang yang punya aset
              untuk dijual, atau orang yang punya sanak famili yang bisa membantu. Mereka semua akan
              tetap bisa bertahan hidup meskipun tidak memiliki pekerjaan.


                                                           41
   37   38   39   40   41   42   43   44   45   46   47