Page 31 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 9 NOVEMBER 2020
P. 31
Di antara sebelas urusan itu, soal ketenagakerjaan, izin lingkungan, pengadaan lahan, dan
administrasi pemerintahan yang paling banyak menuai kritik dari berbagai kalangan masyarakat
karena mendegradasi hak rakyat dan mengingkari prinsip-prinsip desentralisasi.
Sebagaimana diberitakan dalam headline harian ini pada 4 November 2020, segera setelah
ditandatangani, serikat buruh mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan
UU tersebut. Tuntutan pembatalan UU Cipta Kerja itu merupakan bentuk perlawanan serikat
buruh di jalur hukum dan merupakan bentuk perlawanan lanjutan setelah berbagai keberatan
terhadap pasal-pasal dalam klaster ketenagakerjaan, diabaikan oleh pemerintah dan DPR.
Klaster ketenagakerjaan merupakan klaster yang pa-sal-pasalnya paling eksplisit mereduksi hak-
hak pekerja yang sebelumnya dijamin oleh UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Hak-hak pekeija yang direduksi tampak dari pasal-pasal yang mengatur pekerja kontrak, proses
PHK dan hak pesangon, hak cuti, upah minimum, dan dihapusnya sanksi bagi pengusaha yang
tidak membayar upah sesuai ketentuan.
Secara substansial, pasal-pasal dalam klaster ketenagakerjaan menurunkan jaminan kepastian
kerja, jaminan pendapatan, dan jaminan sosial bagi pekerja, terutama lewat sistem kerja kontrak
dan outsourcing yang bebas diterapkan untuk semua jenis pekerjaan.
Pasal-pasal ketenagakerjaan itu sejak awal beredarnya draf RUU-nya pada awal tahun ini, telah
memicu protes dari serikat pekerja. Selain karena substansi pasal-pasalnya, protes serikat buruh
juga dipicu oleh proses perumusan draf yang dilakukan secara diam-diam oleh pemerintah dan
pengusaha, tanpa melibatkan serikat pekerja yang merupakan satu aktor kunci dari tiga aktor
dalam kelembagaan tripartit dalam sistem hubungan industrial di Indonesia.
Rangkaian aksi penolakan serikat pekerja dilakukan dalam berbagai bentuk, mulai dari
menyampaikan kajian kritis terhadap pasal-pasal ketenagakerjaan kepada DPR, mengajukan
usulan alternatif, upaya dialog dengan pemerintah, hingga aksi massa di berbagai wilayah.
Pilihan-pilihan strategi ini, oleh KSPI (Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia) disebut sebagai
pendekatan konsep, lobi, dan aksi.
Ditinggalkan
Ditinggalkannya serikat pekerja dalam perumusan kebijakan ketenagakerjaan bukan kali ini saja
dilakukan oleh pemerintah. Sepanjang periode pemerintahan Presiden Joko Widodo, dua regulasi
penting menyangkut ketenagakerjaan dan ke-serikatburuhan yakni PP 78 tahun 2015 tentang
Pengupahan dan paket kebijakan ekonomi tahun 2016 juga tidak melibatkan serikat pekerja.
Sebagai aktor kunci dalam hubungan industrial, sikap meninggalkan serikat pekerja dalam
penyusunan kebijakan dan regulasi yang menyangkut ketenagakerjaan perlu dikoreksi. Serikat
pekerja adalah organisasi resmi yang keberadaannya dijamin oleh UU, dengan perannya sebagai
wakil pekerja untuk menyuarakan kepentingan pekerja.
Dalam aksi-aksi massa penolakan terhadap RUU dan UU Cipta Kerja, tidak dapat diingkari bahwa
serikat pekerja adalah aktor penting yang memberitahu publik tentang substansi pasal-pasal
ketenagakerjaan yang merugikan kepentingan pekerja, sekaligus menjadi penggerak
perlawanan terhadap RUU Cipta Kerja dari berbagai elemen masyarakat: petani, aktivis
lingkungan, aktivis agraria, akademisi, mahasiswa, dan tokoh-tokoh agama.
Sebuah survei daring yang dilakukan oleh Chikal Research Institute pada awal September
tentang persepsi masyarakat pekerja terhadap RUU Cipta kerja memperlihatkan bahwa serikat
pekerja merupakan sumber pengetahuan utama mengenai pasal-pasal ketenagakerjaan bagi
masyarakat, khususnya pekerja/buruh.
30