Page 18 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 10 NOVEMBER 2020
P. 18
Waktu tiga bulan untuk menyelesaikan 44 peraturan pelaksana dari Undang-Undang Cipta Kerja
dikhawatirkan tidak memadai untuk bisa menyerap masukan publik. Ruang partisipasi publik
yang dijanjikan pemerintah dalam penyusunan seluruh aturan pelaksana tersebut diharapkan
bukan formalitas belaka.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono, Senin (9/11/2020),mengatakan,
penyusunan peraturan pelaksana dari Undang-undang, seperti peraturan pemerintah atau
peraturan presiden, biasanya memakan waktu minimal satu tahun.
Namun, khusus UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, penyusunan seluruh peraturan
pelaksana harus sudah tuntas dalam tiga bulan. Ini seperti diamanatkan oleh Pasal 185 UU Cipta
Kerja. Waktu tiga bulan itu dihitung sejak 2 November 2020 atau ketika Presiden Joko Widodo
menandatangani UU Cipta Kerja.
Dengan sempitnya waktu itu, Bayu menilai, akan sulit untuk bisa mewujudkan proses yang
deliberatif dan aspiratif. Termasuk di dalamnya, ia khawatir, tidak akan memadai bagi publik
untuk memberikan masukan.
Untuk menepis kekhawatiran itu, pemerintah diharapkan betul-betul memanfaatkan waktu yang
ada untuk menyerap masukan publik. Tidak seperti selama ini, masukan publik dianggap sebatas
formalitas.
"Ini kritik bagi kita semua, ruang partisipasi publik itu kerap hanya menjadi formalitas. Selain
spektrum publik yang diundang terbatas, mereka yang memberikan masukan itu pun tidak
dihiraukan dalam pengambilan kebijakan," ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, dalam keterangan tertulis,
mengatakan, saat penyusunan peraturan pelaksana, pemerintah berjanji membuka ruang
partisipasi publik. Pemerintah pun menyediakan wadah melalui portal https://uu-ciptakerja.go.id
bagi publik yang ingin melihat draf rancangan peraturan pelaksana sekaligus memberikan
masukan. Hingga Senin malam, baru ada tujuh rancangan peraturan pemerintah yang bisa
diunduh.
Ketua DPR Puan Maharani, dalam pidatonya saat membuka masa persidangan kedua DPR tahun
2020-2021, Senin, pun mendorong atensi dari alat-alat kelengkapan DPR untuk mengawal
penyusunan peraturan pelaksana dari UU Cipta Kerja.
"Ini merupakan kesempatan memberi penjelasan manfaat UU Cipta Kerja bagi rakyat dan
memastikan UU itu untuk dilaksanakan demi kesejahteraan rakyat, memajukan Indonesia, dan
membangun kekuatan ekonomi nasional," ujarnya.
Salah satu yang perlu disoroti dalam penyusunan peraturan pelaksana itu, menurut peneliti
Institute for Development of Economics and Finance, Dhenny Yuartha Junifta, terkait upah
buruh. Peraturan pelaksana perlu dikawal agar sejumlah aturan yang mengarah pada
pemberlakuan upah murah dalam UU tidak semakin parah di peraturan pelaksananya.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar menilai, sejumlah
aturan dalam UU Cipta Kerja mendorong lahirnya rezim upah murah, seperti upah minimum yang
tak ditetapkan berdasarkan indikator kebutuhan hidup layak pekerja dan penetapan upah
minimum yang hanya mengacu faktor pertumbuhan ekonomi atau inflasi.
Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi berjanji akan menerima
masukan dari berbagai kalangan dalam penyusunan RPP seputar kluster ketenagakerjaan di UU
Cipta Kerja. Saat ini, RPP itu masih dibahas pemerintah, pengusaha, dan serikat buruh.
17