Page 241 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 13 OKTOBER 2020
P. 241

Menteri  Ketenagakerjaan  Ida  Fauziyah  mengunjungi  Ketua  Umum  Pengurus  Besar  Nahdlatul
              Ulama (PB NU) KH Said Aqil Siroj untuk memberikan penjelasan tentang omnibus law UU Cipta
              Kerja  akhir  pekan  lalu  (10/10).  Khususnya  terkait  klaster  ketenagakerjaan.  Menurut  Ida,
              pemerintah menjamin perlindungan terhadap hak-hak buruh. Setelah bertemu dengan pengurus
              PB NU, Ida berencana berkeliling ke berbagai elemen masyarakat lain.



              OMNIBUS LAW CIPTA KERJA BISA PENGARUHI KUALITAS DAN TARGET INVESTASI

              Menggenjot investasi jadi sasaran utama pemerintah menerbitkan Omnibus Law Cipta Kerja.
              Investasi juga diharapkan berbanding lurus dengan penciptaan lapangan kerja. Tapi, realisasinya
              diprediksi tidak mudah.

              Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara
              menilai pengesahan UU Cipta Kerja yang terburu-buru justru kontradiktif dengan upaya untuk
              meningkatkan  kualitas  investasi.  Sebab,  banyak  peraturan  terkait  perlindungan  pekerja  dan
              lingkungan yang diubah.

              Di sisi lain, investor dari negara maju bakal melihat regulasi negara tujuan sebelum memutuskan
              menanamkan modalnya. Tujuannya, memastikan investasi yang memenuhi standar. Khususnya
              bagi investor dari Jepang, Amerika Serikat (AS), maupun negara-negara Eropa.

              "Mereka memiliki prinsip terkait keadilan hak pekerja atau fair labor, tempat kerja yang layak
              atau  decent  work,  dan  berwawasan  lingkungan.  Poin-poin  tersebut  tidak  didapatkan  dalam
              Omnibus Law Cipta Kerja," ulasnya kemarin (11/10).

              Menurut dia, bukan tidak mungkin omnibus law akan merugikan dalam jangka panjang. Selain
              mengundang  polemik  dan  mogok  kerja,  investor  akan  mencermati  berapa  banyak  peraturan
              pemerintah,  peraturan  menteri,  maupun  peraturan  daerah  yang  diubah  pasca  pengesahan
              undang-undang sapu jagat tersebut.

              Itu  justru  berpotensi  menimbulkan  ketidakpastian  hukum.  Imbasnya,  para  investor  punya
              persepsi negatif dan menunda keputusan investasi. "Mereka yang ingin berinvestasi akhirnya
              menjadi  wait  and  see  sampai  peraturan  teknisnya  selesai  dibuat  pemerintah,"  ujar  alumnus
              Universitas Gadjah Mada itu.

              Bhima  juga  menyebut  omnibus  law  tidak  memiliki  fokus.  Di  satu  sisi,  pemerintah  ingin  ada
              lembaga pengelola investasi (LPI) atau sovereign wealth fund (SWF) yang uangnya bisa dikelola
              manajemen  investasi  yang  sebagian  besar  di  surat  berharga.  Sementara  itu,  di  klaster
              ketenagakerjaan, hak pekerja dipangkas untuk menarik investasi padat karya. Pada bidang start-
              up, pemerintah membuka ruang untuk tenaga kerja asing (TKA) masuk. Lalu, di klaster pangan,
              yang akan didorong adalah importer pangan. "Jadi, jenis investasi apa yang sebenarnya ingin
              didorong?" tanya Bhima.
              Senada, ekonom Faisal Basri menuturkan, tujuan yang kerap terlontar dalam omnibus law adalah
              kemudahan berusaha. Padahal, lanjut dia, masalah klasik itu sudah berlangsung puluhan tahun.

              "Namun,  mengapa  baru  sekarang  diklaim  sebagai  penyebab  kemerosotan  investasi  dan
              pertumbuhan ekonomi? Dengan iklim usaha yang serupa, mengapa pertumbuhan di masa lalu
              bisa 8 persen, 7 persen, dan 6 persen," katanya.

              Sementara itu, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia meyakini
              bahwa  omnibus  law  akan  menarik  lebih  banyak  proyek  investasi  asing  langsung  (FDI)  ke
              Indonesia. Menurut dia, investasi akan memberikan lebih banyak kesempatan kerja. Investasi


                                                           240
   236   237   238   239   240   241   242   243   244   245   246