Page 69 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 13 OKTOBER 2020
P. 69
diberi pengaturan khusus. Demikian pula ada pemberian jaminan bagi tenaga kerja kelompok
disabilitas.
RUU CIPTA KERJA DINILAI TAK SENSITIF DISABILITAS
Rancangan Undang Undang Cipta Kerja masih mengusung istilah eaeat bagi penyandang
disabilitas dan memuat aturan yang tak memberikan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas.
Sepekan setelah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah, Rancangan Undang-
Undang Cipta Kerja terus menuai kritik, termasuk dari kalangan disabilitas. DPR dan pemerintah
dinilai tidak memiliki sensitivitas terhadap penyandang disabilitas.
Komunitas Penyandang Disabilitas yang tergabung dalam Jaringan Penyandang Disabilitas Tolak
Undang-Undang Cipta Kerja 2020 menuding RUU Cipta Kerja sebagai langkah mundur
penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas.
Dalam pernyataan pers, Senin (12/10/2020), mereka melontarkan kritik kepada DPR dan
pemerintah yang masih mengusung istilah cacat bagi penyandang disabilitas. "Paradigma cacat
tersebut sangat bertentangan dengan gerakan selama ini untuk mengusung terciptanya cara
pandang terhadap penyandang disabilitas," ujar Fajri Nursyamsi dari Pusat Studi Hukum dan
Kebijakan Indonesia (PSHK).
RUU Cipta Ketja juga dianggap bertentangan dengan Konvensi Hak Penyandang Disabilitas yang
sudah diratifikasi melalui UU Nomor 19 Tahun 2011. Penggunaan kata cacat dalam RUU
menunjukkan pemahaman dan keberpihakan DPR serta pemerintah terhadap kelompok
disabilitas sangat minim. "Bahkan, UU Penyandang Disabilitas yang mereka sahkan sendiri
ditinggalkan dan tidak masuk dalam pertimbangan RUU Cipta Kerja," kata Fajri.
Jaringan Penyandang Disabilitas menegaskan, kelompok atau organisasi penyandang disabilitas
tidak pernah diperhitungkan dan dilibatkan dalam proses pembahasan RUU Cipta Kerja.
RUU Cipta Kerja juga menghapus aturan perlindungan negara terhadap hak penyandang
disabilitas untuk mendapatkan aksesibilitas dalam bangunan gedung. RUU ini menghapus Pasal
27 Ayat (2) UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung yang mengatur persyaratan
kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan gedung berupa aksesibilitas bagi
penyandang disabilitas dan lanjut usia.
Tak hanya itu, RUU Cipta Kerja juga menambah daftar alasan bagi pemberi kerja untuk
melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), dengan mencantumkan alasan PHK bagi pekeij
a/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat
melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan. Alasan PHK itu dinilai diskriminatif,
merugikan penyandang disabilitas, dan jauh dari semangat inklusif.
Kuota pekerjaan hilang
RUU Cipta Kerja menghilangkan pula kuota 1 persen bagi perusahaan swasta dan 2 persen bagi
perusahaan/institusi pemerintah untuk merekrut penyandang disabilitas dari keseluruhan
pegawai. "Tentu saja ini sangat mengurangi kesempatan penyandang disabilitas dalam
mengakses dunia kerja dan akan menjadikan penyandang disabilitas sulit dalam mengakses
dunia kerja," tambah Nurul Saadah dari Yayasan Sentra Advokasi Perempuan Difabel dan Anak
(Sapda).
Persyaratan sehat "jasmani rohani" dalam RUU Cipta Kerja dinilai sumir dan akan
mendiskriminasi penyandang disabilitas mental untuk mendapatkan akses pekerjaan. Bahkan,
68