Page 70 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 13 OKTOBER 2020
P. 70

RUU ini tidak mengatur mekanisme pencegahan dan perlindungan kekerasan terhadap pekerja
              perempuan, khususnya perempuan penyandang disabilitas.
              Karena itulah Presiden didesak mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
              (Perppu) dalam waktu 14 hari. DPR diminta menjelaskan kepada publik mengapa mengabaikan
              kelompok penyandang disabilitas dalam pembahasan dan tidak mencantumkan UU Penyandang
              Disabilitas.

              Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Achmad Baidowi mengatakan, RUU Cipta Kerja memperhatikan
              penyandang disabilitas, misalnya dalam pembangunan gedung, kelompok tersebut diatur dan
              diberi pengaturan khusus. Demikian pula ada pemberian jaminan bagi tenaga kerja kelompok
              disabilitas. "Tidak ada kluster khusus terkait dengan penyandang disabilitas, dalam rapat panja
              (panitia kerja) selalu diingatkan terkait masalah ini," katanya.

              Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial Harry Hikmat berpendapat, sejak awal
              UU Penyandang Disabilitas tidak dimasukkan, tetapi tidak berarti tenaga kerja disabilitas tak
              diperhatikan. Hal itu justru menguntungkan disabilitas karena persoalan disabilitas tetap diatur
              dalam UU Penyandang Disabilitas yang lebih luas dan komprehensif.

              "Soal masih menggunakan kata cacat, ini memang perlu dikoreksi. UU Nomor 8 Tahun 2016 jelas
              menyebut istilah disabilitas, bukan cacat," kata Harry. (SON/REK)
              10 Alasan Jaringan Disabilitas Menolak Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja:

              1.  Kelompok atau organisasi penyandang disabilitas tidak pernah diperhitungkan dan dilibatkan
                  sejak awal proses pembahasan.
              2.  Tidak  harmonis  dan  sinkron  dengan  UU  Nomor  8  Tahun  2016  tentang  Penyandang
                  Disabilitas.
              3.  Masih mengusung istilah cacat bagi penyandang disabilitas.
              4.  Menghapus Pasal 27 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan
                  Gedung yang mengatur persyaratan kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan
                  gedung berupa aksesibilitas bagi penyandang disabilitas dan lanjut usia.
              5.  Penghapusan  Pasal  27  Ayat  (2)  UU  Bangunan  Gedung,  menunjukkan  tidak  mendukung
                  pemenuhan hak penyandang disabilitas dalam mendapatkan akomodasi yang layak dalam
                  dunia kerja.
              6.  Menambahkan 1 syarat yang dapat menjadi alasan bagi pemberi kerja untuk melakukan
                  pemutusan hubungan kerja, yaitu "Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan
                  pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak
                  dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan".
              7.  Tidak mencantumkan ketentuan kuota 1 persen bagi perusahaan swasta dan 2 persen bagi
                  BUMN/BUMD  serta  pemerintah/pemerintah  daerah  untuk  mempekerjakan  penyandang
                  disabilitas  dari  keseluruhan  pegawai,  yang  saat  ini  tercantum  dalam  UU  Penyandang
                  Disabilitas.
              8.  Masih menggunakan sehat "jasmani rohani' sebagai syarat untuk mendapatkan pekerjaan
                  atau menempati jabatan tertentu, yang merupakan tindakan diskriminatif bagi penyandang
                  disabilitas.
              9.  Tidak  mengatur  mekanisme  pencegahan  dan  perlindungan  kekerasan  terhadap  pekerja
                  perempuan, khususnya perempuan u>: penyandang disabilitas.
              10. Tidak  mencantumkan  poin-poin  yang  bisa  memudahkan  penyandang  disabilitas  untuk
                  berusaha, sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 8 Tahun 2016.







                                                           69
   65   66   67   68   69   70   71   72   73   74   75